Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia dinilai belum cukup agresif menarik investasi asing langsung (FDI), di tengah derasnya arus modal global yang mulai beralih ke Asia Tenggara pasca pandemi COVID-19. Padahal, kawasan ASEAN kini menjadi magnet baru FDI global.
Data UNCTAD mencatat, saat arus investasi dunia turun tajam 33% dalam delapan tahun terakhir, dari US$ 2 triliun pada 2015 menjadi US$ 1,3 triliun pada 2023, Asia Tenggara justru mencatat lonjakan FDI hingga 92% ke angka US$ 230 miliar.
Baca Juga: Negosiasi Lama, Menteri Rosan: Pemerintah yang Memutus Investasi dari LG
Sayangnya, Indonesia belum maksimal menangkap peluang tersebut. Sejumlah proyek investasi strategis yang sempat diumumkan justru kandas di tengah jalan.
Termasuk rencana investasi Tesla dan terbaru, pembatalan proyek LG senilai Rp 130 triliun untuk ekosistem baterai EV.
Masih Banyak “Pelicin”, ICOR Tinggi
Ekonom CELIOS Nailul Huda menilai, iklim investasi Indonesia masih belum kondusif. Selain regulasi yang tumpang tindih, investasi di Tanah Air dibebani ekonomi biaya tinggi, mulai dari ormas, mafia tanah, birokrasi hingga budaya suap.
“Masih banyak butuh pelicin. Akibatnya, ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia masih tinggi. Artinya, ekonomi kita tidak efisien,” kata Huda kepada Kontan, Rabu (24/4).
Baca Juga: Pembangunan Pabrik BYD Diganggu Ormas, BKPM: Menarik Investasi Tidak Mudah
Ia menilai tekanan eksternal seperti suku bunga tinggi dan tarif ekspor ke AS juga memperburuk daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi.
Ke depan, biaya investasi diperkirakan tetap tinggi, baik dari sisi moneter maupun sektor riil.
“Saya pesimis investasi di Indonesia bisa naik signifikan. Yang dikhawatirkan justru makin banyak investor yang hengkang,” ujarnya.
Target Realistis, Tapi Butuh Kerja Keras
Sementara itu, ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai target investasi 2025 senilai Rp 1.905,6 triliun, dengan porsi PMA sebesar 50,8%, masih realistis.
Apalagi realisasi tahun 2024 sudah menyentuh Rp 1.740 triliun, dengan komposisi PMA sekitar 50%.
“Tapi pemerintah harus kerja super keras untuk meyakinkan investor bahwa Indonesia sedang bertransformasi,” ujarnya.
Baca Juga: Dibayang Harapan Palsu Investor, Pemerintah Dituntut Genjot Iklim Investasi
Menurutnya, perang dagang global bisa dimanfaatkan sebagai peluang menarik relokasi industri dari China, Korea Selatan, dan Jepang. Di sinilah pentingnya peran Danantara sebagai mitra strategis investor asing.
Namun, Indonesia perlu berbenah, dari perizinan, deregulasi, hingga revisi aturan TKDN yang terlalu rigid, agar tak justru jadi hambatan investasi.
Wijayanto menilai perlu dibentuk satuan tugas (Satgas) khusus deregulasi, yang tak hanya melahirkan aturan baru, tapi juga aksi konkret perbaikan iklim investasi.
“Narasi Pak Prabowo soal deregulasi total harus dijalankan serius, lewat pendekatan eye to eye dan neck to neck dengan Vietnam,” pungkasnya.
Selanjutnya: Ekonom Menilai Keputusan BI Tahan Suku Bunga di Level 5,75% Sudah Tepat
Menarik Dibaca: Optimalkan Tumbuh Kembang, Alfamidi Dorong Keluarga Menjaga Pencernaan Balita
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News