Reporter: Dyah Megasari |
JAKARTA. Meskipun berbeda hari saat memulai Ramadan, kemungkinan besar umat Islam Indonesia akan merayakan Idul Fitri 1433 bersama-sama. Posisi alamiah hilal atau sabit mudalah yang menyatukannya, bukan karena sudah ada kesepakatan metode penghitungannya.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Keputusan Temu Kerja Evaluasi Hisab Rukyat Departemen Agama 2010, dan Islamic Crescent’s Observation Project menyebut, ijtimak atau kesegarisan Matahari-Bulan-Bumi sebagai tanda masuknya awal Syawal 1433 terjadi pada Jumat (17/8) pukul 22.54 WIB. Meski demikian, Sabtu (18/8) pukul 00.00 WIB tidak dapat disebut sebagai datangnya 1 Syawal.
Pergantian hari dalam kalender Hijriah dimulai setelah Matahari terbenam, bukan tengah malam seperti dalam kalender Masehi. Artinya, penentuan 1 Syawal 1433 baru dapat dipastikan berdasarkan perhitungan dan pengamatan kondisi hilal pada Sabtu (18/8) setelah Matahari terbenam.
Di seluruh wilayah Indonesia, pada saat Matahari terbenam Sabtu (18/8), Matahari terbenam lebih dulu dibandingkan dengan Bulan. Di Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, salah satu lokasi terbaik pengamatan hilal di Indonesia, Matahari terbenam pukul 17.55 WIB. Bulan, baru terbenam 31 menit kemudian.
Pada saat itu, umur Bulan telah mencapai 19 jam 32 menit. Ketinggian hilalnya telah mencapai 6 derajat 55 menit. Jarak sudut antara Matahari dan Bulan 10 derajat 26 menit dengan posisi Bulan di selatan Matahari.
Bagi mereka yang menggunakan kriteria wujudul hilal dalam penentuan awal bulan Hijriah, 1 Syawal akan jatuh pada Minggu, 19 Agustus. Kriteria ini mensyaratkan awal bulan harus ditandai dengan sudah terjadinya ijtimak dan Matahari terbenam lebih dulu dibandingkan dengan Bulan.
Adapun bagi yang memakai kriteria imkanur rukyat atau kemungkinan hilal bisa diamati, awal bulan Hijriah terjadi bila hilal sudah teramati. Syarat hilal dapat diamati, berdasarkan pengalaman pengamatan selama ini adalah ketinggian hilal minimal 2 derajat. Dengan kondisi hilal yang ada, maka Idul Fitri dengan kriteria ini juga akan jatuh pada Minggu (19/8).
Sementara itu, kriteria Menteri-menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) juga mensyaratkan awal bulan Hijriah jika hilal bisa diamati. Syaratnya, selain memiliki ketinggian 2 derajat, jarak sudut Bulan-Matahari minimal 3 derajat, dan umur Bulan minimal 8 jam. Dengan syarat ini dan kondisi hilal yang ada, Lebaran juga jatuh pada Minggu (19/8).
Mereka yang memakai kriteria imkanur rukyat dan MABIMS masih akan menunggu keputusan sidang isbat (penetapan) yang baru akan dilakukan Kementerian Agama, Sabtu (18/8) petang. Keputusan ini menunggu hasil pengamatan hilal di sejumlah wilayah di Indonesia. Walau demikian, perbedaan Lebaran tetap akan ada, khususnya dari kelompok-kelompok kecil umat Islam Indonesia yang menggunakan basis data perhitungan berbeda.
Cari kesepahaman
Adanya kesamaan dalam penentuan Idul Fitri 1433 ini tidak menunjukkan kriteria penentuan hilal tertentu yang lebih benar dibandingkan dengan kriteria yang lain. Kesatuan ini murni disebabkan posisi alamiah Bulan. Konjungsi Bulan terjadi pada malam hari sehingga kemungkinan hilal untuk bisa diamati pada saat Matahari terbenam keesokan harinya sangat tinggi.
Namun, posisi yang ”kebetulan” ini tidak terjadi setiap bulan, khususnya pada tiga bulan penting dalam kalender Hijriah yang berkaitan langsung dengan ibadah wajib, yaitu Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah. Artinya, masih ada kemungkinan beda mengawali Ramadhan, Idul Fitri, ataupun Idul Adha. Kisruh, tudingan-tudingan tak berdasar terkait kriteria penentuan hilal, dan kebingungan masyarakat pun masih akan terjadi.
Sikap proaktif pemerintah untuk menjelaskan perkara ini dengan bahasa lugas yang dipahami masyarakat diperlukan. Terlebih lagi, kesadaran untuk mengikuti keputusan pemerintah sebagai ulil amri (pemimpin) dalam penentuan kalender Hijriah mulai muncul.
Komunikasi di antara organisasi massa Islam pun perlu lebih diintensifkan agar kesepakatan kriteria penentuan awal bulan Hijriah segera didapatkan. Kesepakatan ini tentu saja tetap berpegang kepada kaidah agama, tetapi juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmu falak (astronomi).
Jika kesepakatan nasional ini bisa diraih, ”Indonesia bisa menjadi pionir untuk menyatukan kriteria penentuan awal bulan Hijriah secara global,” kata ahli kalender dari Program Studi Astronomi, Institut Teknologi Bandung (ITB), Moedji Raharto.
Saat ini memang belum ada kesepakatan tunggal sistem penanggalan Hijriah yang disepakati semua negara. Kalander Hijriah Global (Universal Hejric Calendar) yang digagas Arab Union for Astronomy and Space Sciences sejak 2001 belum bisa diterima semua negara Muslim.
Sejumlah negara Muslim memang mengikuti penentuan yang dilakukan Pemerintah Arab Saudi. Namun, ketentuan yang digunakan di Arab Saudi sering memicu kontroversi di kalangan ahli astronomi Timur Tengah ataupun Asia Tenggara.
Moedji mengatakan, Arab Saudi menggunakan kriteria wujudul hilal dalam kalender Ummul Qura untuk keperluan administratif. Kriteria ini juga baru digunakan karena sistem yang digunakan sebelumnya sering berubah. Namun untuk penentuan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah, mereka tetap memakai rukyat walau kadang hasil rukyatnya justru menimbulkan kontroversi karena tidak diverifikasi berdasarkan kondisi riil Bulan.
Pandangan keliru
Masyarakat memaknai perbedaan kriteria penentuan awal bulan Hijriah ini dengan dua metode saja, yaitu hisab yang mengacu pada kriteria wujudul hilal dan rukyat yang mengacu pada kriteria imkanur rukyat ataupun MABIMS. Penyederhanaan ini sering kali mengarah bahwa yang menggunakan hisab berarti menggunakan sains dalam penentuannya, sedangkan rukyat hanya mengandalkan penglihatan mata dan mengabaikan sains.
Anggapan ini jelas keliru. Mereka yang menggunakan metode rukyat sejatinya justru menggunakan sains yang lebih komprehensif. Metode rukyat tetap mensyaratkan dilakukannya hisab terlebih dahulu. Hisab ini penting untuk menentukan karakter hilal saat akan diamati, mulai dari posisi, ukuran hilal, lama penampakan hilal, hingga kemungkinan gangguan yang muncul untuk menghindarkan pengamat salah melihat hilal.
”Hisab itu teoretis, sedangkan rukyat itu klarifikasi atas hisab yang dilakukan,” kata Judhistira Aria Utama dari Laboratorium Bumi dan Antariksa, Jurusan Pendidikan Fisika, Universitas Pendidikan Indonesia. Verifikasi inilah yang membuat hasil rukyat akan ditolak jika secara teoretis hilal tidak mungkin dilihat.
Meski berbeda metode, hisab dan rukyat tetap dapat disatukan dengan menggunakan hisab yang berbasis pada perhitungan kemungkinan terlihatnya hilal. Ini memang membutuhkan kerelaan dari kelompok yang menggunakan wujudul hilal.
Hal ini memang sulit karena menyangkut keyakinan. Namun, bukan berarti tidak bisa. Sebaliknya, mengubah metode rukyat menjadi hanya hisab saja akan lebih sulit. Ini karena ada dalil yang secara eksplisit memerintahkan melihat hilal sebagai penanda awal bulan baru.
Semua ikhtiar yang dilakukan harusnya tertuju untuk kemaslahatan umat. Kepraktisan penanggalan tentu dibutuhkan untuk memudahkan umat, tetapi prinsip-prinsip agama tetap harus dipegang. (Zaid Wahyudi/Kompas Cetak/Kompas.com)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News