kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Indeks kemudahan berbisnis Indonesia turun peringkat ke 73, ini penyebabnya


Kamis, 01 November 2018 / 12:25 WIB
Indeks kemudahan berbisnis Indonesia turun peringkat ke 73, ini penyebabnya
ILUSTRASI. ILUSTRASI OPINI - Kemudahan Berbisnis di Era Digital


Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peringkat kemudahan berbisnis atau Ease of Doing Business (EODB) Indonesia bergerak turun. Bank Dunia dalam Laporan Doing Business 2019: Pelatihan untuk Reformasi, Kamis (1/11), menyatakan kemudahan berbisnis Indonesia turun ke peringkat 73 dari 190 negara.

Peringkat Indonesia masih berada di bawah negara-negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam yang ada di peringkat 69, Thailand di 27, Malaysia di 15, dan Singapura di peringkat 2.

Bank Dunia menilai, Indonesia masih memiliki nilai rendah pada beberapa indikator, antara lain Penegakan Kontrak (Enforcing Contracts), Pendaftaran Properti (Registering Property), dan Izin Konstruksi (Construction Permits).

"Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan konstruksi di Indonesia lebih dari enam bulan, ini lebih tinggi dari rata-rata di negara regional. Begitu juga dengan biayanya yang lebih tinggi dua kali lipat," ujar Analis Bank Dunia Erick Tjong dalam konferensi pers, Kamis (1/11).

Dalam laporan, waktu yang dibutuhkan untuk mengurus perizinan konstruksi di Jakarta dan Surabaya masing-masing adalah 191 hari dan 232,5 hari. Sementara, rata-rata di negara Asia Timur dan Pasifik hanya perlu 133,5 hari.

Sementara, biaya yang dibutuhkan di Jakarta dan Surabaya mencapai 4,6% dan 3,8% dari nilai bangunan gudang (warehouse). Rata-rata negara regional hanya memerlukan biaya 1,9% dari nilai bangunan gudang.

Selain itu, Bank Dunia juga melihat kontrak bisnis di Indonesia masih terpusat 74% di ibu kota Jakarta. Padahal, ada kota-kota lain yang memiliki iklim bisnis potensial antara lain Surabaya. Secara rata-rata di negara regional, kontrak bisnis di ibu kota hanya sekitar 47,2%.

Di bidang pendaftaran properti, Bank Dunia melihat masih ada ruang peningkatan lebih lanjut, yaitu dengan membuat informasi terkait kepemilikan tanah serta peta bidang tanah yang teredia untuk publik.

Di luar indikator EODB, Indonesia juga disarankan untuk mereformasi aspek lainnya seperti menghilangkan batas kepemilikan saham asing, mengurangi tarif bea impor, dan menurunkan tarif bea impor, dan menurunkan hambatan dalam mempekerjakan asing berketerampilan tinggi.

Tim Bank Dunia Indonesia memperkirakan, dengan menghilangkan batas kepemilikan saham asing Indonesia akan menerima tambahan investasi asing dan domestik masing-masing sebesar US$ 4 miliar dan US$ 2 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×