Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia menempati urutan ke-45 dari 50 negara dalam edisi ketujuh laporan tahunan indeks kekayaan intelektual yang diluncurkan oleh Global Innovation Policy Center (GIPC), sebuah lembaga bagian Kamar Dagang Amerika Serikat.
Laporan ini disusun berdasarkan 45 indikator dari delapan kategori utama yakni paten, hak cipta, merek dagang, rahasia dagang, komersiaslisasi aset kekayaan intelektual, penegakan hukum, efisiensi sistem, serta keanggotaan dan ratifikasi perjanjian internasional. Atas berbagai indikator tersebut, Indonesia memperoleh nilai 12,87 atau menurun 30,35% dari edisi sebelumnya.
Meski berada di peringkat ke-45, GIPC menjelaskan, Indonesia telah mengambil berbagai langkah positif untuk membawa kerangka kebijakan kekayaan intelektualnya menjadi setara dengan negara di Asia Tenggara.
"Seiring dengan meningkatnya populasi, keunggulan demografis, juga ekonomi yang dinamis, Indonesia terus bergerak maju. Indonesia dapat memanfaatkan kekuatan kekayaan intelektual agar terlepas dari perangkap pendapatan menengah atau middle-income trap,” ungkap Direktur Eksekutif untuk wilayah Asia Tenggara Kamar Dagang Amerika Serikat John Goyer seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Kamis (14/3).
Dalam laporan tahunan ini terdapat beberapa keunggulan yang dimiliki oleh Indonesia. Beberapa di antaranya adalah regulasi paten di 2018 memberikan kelonggaran dalam persyaratan lokalisasi dan alih teknologi yang diatur pada Undang-Undang Paten 2016.
Adanya kerjasama dengan kantor paten Jepang (JPO) untuk memperkuat proteksi kekayaan intelektual melalui Patent Prosecution Highways (PPH). Adanya penyediaan bantuan administratif untuk pelaporan pelanggaran hak cipta yang terjadi pada lingkung online.
Keunggulan lainnya, terdapat koordinasi yang baik pada tingkat kabinet dan koordinasi kerangka kerja untuk pelaksanaan kekayaan intelektual.
Di samping kelebihan yang dimiliki, kelemahan yang dimiliki Indonesia antara lain adanya ketidakpastian bagi hak cipta lantaran kurangnya kejelasan dalam pengimplementasian solusi dari pasal 20 UU no. 13/2016 mengenai persyaratan alih teknologi dan lokalisasi.
"Agar Indonesia dapat menarik banyak manfaat efektif dari sistem kekayaaan intelektual, pemerintah harus mengambil langkah-langkah penting untuk mengatasi berbagai ketentuan yang menyulitkan dari UU nomor 13 Tahun 2016, termasuk pembatasan kriteria paten dan ketentuan impor paralel,” jelas Direktur Eksekutif peraturan internasional di GIPC Ellen Szymanski.
Kelemahan lainnya adalah adanya hambatan yang signifikan dalam pemberian lisensi dan komersialisasi atas aset kekayaan intelektual, termasuk alih teknologi, standar kelayakan paten untuk biofarmasi masih di luar aturan global.
Selanjutnya, lingkungan hak cipta yang menantang dengan tingkat pembajakan yang tinggi serta jumlah partisipasi yang terbata di perjanjian kekayaan intelektual internasional.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News