Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Deindustrialisasi menjadi tantangan dalam upaya Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Pasalnya, untuk mencapai pertumbuhan 6% hingga 7% dan menggapai status negara maju, Indonesia mesti bertumpu pada pertumbuhan industri manufaktur.
Ekonom INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan, fenomena melambatnya pertumbuhan industri memang dialami di banyak negara lain. Setidaknya, 20 negara dengan kontribusi manufaktur terhadap PDB terbesar di dunia tengah mengalami fenomena ini.
Hanya saja, Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan industri lebih cepat dari semestinya. Perlambatan industri Indonesia bahkan jauh lebih cepat dibandingkan negara-negara lain.
Andry mengungkap, Indonesia mengalami penurunan porsi manufaktur terhadap PDB sebesar 7% dalam sepuluh tahun terakhir. "Negara sebaya (peers) di ASEAN, seperti Thailand dan Malaysia, melambatnya bahkan tidak lebih dari 4%," kata Andry, Kamis (11/4).
Dampak dari deindustrialisasi ini pun tidak sepele. Andry mengatakan, setidaknya ada tiga hal sebagai akibat dari menurunnya porsi industri manufaktur di Indonesia. Pertama, turunnya penerimaan perpajakan. Padahal manufaktur menjadi sektor tertinggi penyumbang pajak tertinggi selama ini.
Per Februari lalu, pertumbuhan penerimaan pajak dari sektor industri pengolahan mengalami kontraksi -11,3% yoy atau sebesar Rp 36,87 triliun. Periode yang sama tahun sebelumnya, penerimaan pajak sektor industri pengolahan tumbuh 13,2% yoy.
Kedua, daya serap tenaga kerja oleh sektor manufaktur semakin berkurang. "Di Indonesia, porsi tenaga kerja di sektor manufaktur hanya 14,05%, sisanya masih lebih besar di sektor pertanian. Negara lain justru sudah bergeser dari sektor pertanian," kata Andry.
Ekonom INDEF Fadhil Hasan menambahkan, deindustrialisasi juga mengakibatkan informalisasi pada lanskap tenaga kerja di Indonesia. Sebab, penyerapan tenaga kerja pertanian oleh industri seiring proses industrialisasi, tidak terealisasi.
"Tenaga kerja pertanian justru beralih ke sektor jasa dan di Indonesia, yang terjadi adalah sektor jasa yang menampung sebagian besar tenaga kerja tersebut adalah sektor jasa informal," kata Fadhil.
Terakhir, secara agregat, pertumbuhan PDB tidak dapat terdongkrak naik secara cepat karena kontribusi maupun pertumbuhan manufaktur turun dan tumbuh semakin lamban.
Seperti yang diketahui, sejak krisis 1998 lalu, pertumbuhan industri manufaktur Indonesia selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Tahun lalu, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,17% sementara pertumbuhan industri manufaktur hanya berkisar 4%.
Selain itu, "Deindustrialisasi di Indonesia juga diperparah dengan perubahan pola investasi asing (FDI) yang cenderung berada di sektor tersier (jasa, ekonomi digital) dibandingkan sekunder (industri manufaktur)," tandas Andry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News