kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Indef: Aturan cukai hasil tembakau tidak optimal dongkrak penerimaan negara


Rabu, 28 Agustus 2019 / 15:40 WIB
Indef: Aturan cukai hasil tembakau tidak optimal dongkrak penerimaan negara


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai penetapan tarif cukai hasil tembakau tidak efektif dalam mendongkrak penerimaan negara. Sejumlah celah yang ada dalam berbagai peraturan tersebut membuat penerimaan negara dan pengendalian konsumsi rokok tidak optimal.

Direktur Eksekutif Indef, Tauhid Ahmad menjelaskan, ada tiga temuan utama dari hasil kajian Indef terkait kebijakan cukai rokok. Pertama, struktur cukai saat ini masih belum mengakomodir persaingan yang berkeadilan dan cenderung memiliki celah yang mampu dimanfaatkan.

PMK 146/2017 yang direvisi menjadi PMK 156/2018 telah membuat golongan tarif cukai rokok berdasarkan jenisnya yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT). Golongan tarif tersebut disusun berdasarkan produksi untuk membedakan perusahaan besar dan kecil. Namun, temuan yang ada saat ini menunjukkan perusahaan besar masih bersaing dengan perusahaan kecil.

Baca Juga: Ratusan petani Pamekasan bakar tembakau yang baru di panen, ada apa?

“Golongan tarif berdasarkan jumlah produksi cukup berpengaruh terhadap tingkat persaingan berkeadilan (level playing field),” kata Tauhid dalam acara diskusi “Optimalisasi Penerimaan Negara Melalui Kebijakan Tarif Cukai” di Jakarta Selatan, Rabu (28/8).

Kedua, dari hasil penelitian sampai April 2019, Indef menemukan bahwa dari tujuh perusahaan rokok multinasional, terdapat indikasi pelaku industri besar yang memproduksi dalam jumlah banyak membayar tarif cukai rokok pada golongan rendah. “Jika perusahaan rokok yang membayar tarif cukai pada golongan 2B (rendah) memproduksi 1 miliar batang dengan harga jual eceran (HJE) minimum Rp 715 per batang, maka pendapatan kotornya adalah Rp 715 miliar. Apakah ini termasuk perusahaan kecil?" kata Tauhid.

Baca Juga: Pemerintah diminta gandeng KPK cegah kebocoran penerimaan cukai rokok

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, Menengah telah mengatur bahwa perusahaan dengan penjualan di atas Rp 50 miliar per tahun termasuk kategori usaha besar. Namun dalam Undang-undang Cukai Nomor 39 tahun 2007 serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai turunannya tidak terdapat kategori soal skala usaha industri rokok. Skala usaha industri rokok hanya mengacu pada jumlah produksi rokok.




TERBARU

[X]
×