Sumber: Kompas.com | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Indonesia Corruption Watch menemukan sejumlah kejanggalan dalam pengadaan dua unit kapal anchor handling tug supply (AHTS) milik PT Pertamina Transkontinental pada 2012.
Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri mengatakan, salah satunya yakni ketidaksesuaian spesifikasi kapal yang dibuat PT Vries Marine Shipyard dalam kontrak dengan hasilnya.
Dalam kontrak, disepakati gear box pada mesin utamanya merek Reintjes LAF 183P yang merupakan buatan Eropa. Namun, yang dipasang pada kapal Trans Celebes itu merk Twin Disc keluaran Amerika Serikat.
"Menurut kami ini tidak sesuai kontrak. Kami melihat itu peristiwa hukum," ujar Febri di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (8/2).
Selain itu, adanya keterlambatan penyerahan kapal dari PT VMS ke PT PTK. Dalam kontrak, semestinya kapal pertama bernama Trans Andalas diserahkan pada 25 Mei 2012 dan kapal kedua bernama Trans Celebes pada 25 Juni 2012.
Pada kenyataannya, kapal baru diserahkan pada 10 Agustus 2012 dan 8 Oktober 2012.
Semestinya, kata Febri, ada denda dalam kontrak yang wajib dibayar jika mengalami keterlambatan. Denda tersebut sebesar US$ 5.000 per kapal per hari.
"Kalau dihitung keterlambatan 175 hari dan tidak ditagih oleh direksi PT PTK. Ada US$ 875.000 yang tidak ditagih," kata Febri.
Soal keterlambatan itu, PT VMS beralasan karena faktor cuaca di tempat pembuatan kapal, yaitu di Guangzhou, China.
Tim investigasi ICW kemudian memastikannya ke Hongkong Observatory. Diketahui ada sekitar 23 angin topan yang terjadi di China tahun itu. Namun, kejadian itu hanya berlangsung pada Juli hingga September 2012.
"Itu juga terjadi setelah tenggat waktu dalam kontrak. Jadi mestinya tidak berpengaruh ke jadwal penyerahan kapal," kata Febri.
Sebagai kompensasi keterlambatan itu, akhirnya PT VMS menambah peralatan kapal senilai Rp 322 juta dan US$ 2.200. Padahal, kompensasi denda tidak diatur dalam kontrak.
Dengan demikian, kata Febri, direksi PT PTK dan PT VMS melanggar kontrak dan membuat aturan sendiri yang tak tertera dalam kontrak.
Dalam kasus ini, Kejagung telah beberapa kali memanggil Wakil Direktur Pertamina Persero, Ahmad Bambang untuk dimintai keterangan. Ia dimintai keterangan dalam kapasitasnya sebagai mantan Dirut PT PTK.
Namun, saat panggilan terakhir pada 30 Januari 2017 kemarin, Ahmad mangkir dari panggilan tersebut.
Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengklaim pihaknya telah mengantungi sejumlah bukti bahwa adanya tindak pidana dalam pengadaan kapal tersebut.
Ia mengaku telah menerima catatan dari Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) serta Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) terkait penghitungan sementara kerugian negara. (Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News