Reporter: Siti Masitoh | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Presiden Prabowo Subianto memiliki target tax ratio yang sangat ambisius pada masa kepemimpinannya yakni sebesar 23% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sebagai informasi, pemerintah menargetkan rasio penerimaan pajak sebesar 10,12% terhadap PDB pada 2024, atau turun dari 2023 yang sebesar 10,32% terhadap PDB.
Sayangnya, Ekonom Center on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet menghitung, dalam waktu singkat atau lima tahun ke depan tax ratio diperkirakan belum bisa ditingkatkan menjadi 23% terhadap PDB.
“Untuk mendorong penerimaan selain dari sisi perbaikan administrasi perpajakan tetapi juga pada upaya melakukan formalisasi perekonomian. Saya kira ini akan cukup menantang apalagi kalau kita bicara konteks waktu 5 tahun ke depan,” tutur Yusuf kepada Kontan, Rabu (27/11).
Baca Juga: Tarif PPN 12% Berpotensi Menambah Biaya Produksi Batubara
Meski begitu, Ia menyampaikan, potensi tax ratio meningkat masih ada, dengan level yang relatif realistis di kisaran 11% hingga 15% terhadap PDB dalam lima tahun kedepan.
Beberapa upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk meningkatkan tax ratio diantaranya, pertama, perluasan basis pajak terutama melalui formalisasi sektor informal dan percepatan digitalisasi sistem perpajakan.
Yusuf menerangkan, dengan mengintegrasikan sistem pajak dengan platform digital dan e-commerce, pemerintah dapat menjangkau sektor ekonomi baru yang berkembang pesat di Indonesia.
“Selain itu, potensi penerimaan pajak dari sektor pertambangan dan properti mewah harus dioptimalkan,” jelasnya.
Kedua, menurutnya sektor digital dan e-commerce menyimpan peluang besar yang selama ini belum tergarap maksimal. Sehingga reformasi administrasi perpajakan menjadi kunci penting.
Ia menambahkan, implementasi core tax system yang terintegrasi dengan kecerdasan buatan untuk mendeteksi ketidakpatuhan pajak perlu segera diwujudkan.
Ketiga, penegakan hukum terhadap penghindaran pajak berskala besar juga harus diperkuat, diiringi peningkatan kapasitas pemeriksa pajak untuk memastikan efektivitas kebijakan. “Reformasi ini tidak hanya menyentuh teknologi, tetapi juga membutuhkan penguatan tata kelola dan pengawasan yang lebih baik,” jelasnya.
Menurutnya, momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi memberikan peluang untuk mendorong kepatuhan pajak. Basis data yang terintegrasi antar lembaga pemerintah menjadi alat strategis dalam mengidentifikasi potensi pajak yang belum tergali.
Sementara itu, di tingkat internasional, automatic exchange of information (AEOI) juga membuka akses terhadap data wajib pajak di luar negeri, memberikan ruang lebih besar untuk meningkatkan penerimaan.
Baca Juga: PPN Naik Jadi 12%, Ini Dampaknya untuk Ekonomi Menurut Pakar UM Surabaya
Meski begitu, Yusuf menyampaikan tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Menurutnya, resistensi dari kelompok kepentingan terhadap kebijakan pajak yang lebih ketat bisa menjadi penghambat implementasi.
Pasalnya kompleksitas ekonomi informal Indonesia juga memerlukan pendekatan yang hati-hati dan waktu yang cukup untuk proses formalisasi. Selain itu, kapasitas aparatur pajak yang belum merata di seluruh wilayah Indonesia masih menjadi kendala signifikan.
Keempat, investasi besar dalam infrastruktur teknologi perpajakan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di bidang pajak juga menjadi kebutuhan mendesak.
Di sisi politik, pemerintah harus mampu mengkomunikasikan kebijakan ini secara efektif untuk membangun kesadaran dan kepatuhan sukarela dari masyarakat.
“Persepsi negatif terhadap upaya peningkatan rasio pajak seringkali menjadi hambatan, sehingga transparansi dan kejelasan manfaat dari,” tandansya.
Selanjutnya: Pantau Hasil Quick Count Pilkada Kota Surabaya 2024 di Sini
Menarik Dibaca: Cuaca Besok di Bali, Hujan Ringan Guyur Semua Daerah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News