Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah proses persiapan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara telah berlangsung. Mulai dari pelantikan Kepala Otorita IKN hingga penerbitan sejumlah aturan untuk mendukung terlaksananya IKN.
Di antaranya Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN) IKN dan Perpres tentang Pembagian Wilayah IKN dan Peraturan Kepala Otorita IKN tentang Rencana Detail Tata Ruang IKN.
Adapun cakupan wilayah IKN mencapai 256.142 hektare (ha) yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur dengan kawasan inti yang ada di Kecamatan Sepaku seluas 6.671 ha.
Sesuai dengan pengakuan masyarakat setempat, kawasan tersebut masih memiliki status Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). Dengan demikian akan ada potensi konflik lahan yang akan terjadi di wilayah IKN.
Baca Juga: Tahun 2023, Alokasi Proyek IKN Mencapai Rp 30 Triliun
Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk menghindari konflik lahan tersebut:
Pertama, Penerapan Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam Pembangunan IKN. Menurut Emil Kleden, Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusaka Bentala Rakyat & Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), Prinsip ini penting untuk dijadikan panduan utama bagi pemerintah dalam menjalankan pembangunan IKN.
“Perlu diingat, sumber konflik pada umumnya terkait dengan hak masyarakat atas tanah. Hak tersebut perlu dipenuhi agar proses pembangunan mendapatkan dukungan ke depannya,” Kata Emil dalam pernyataan tertulis yang dihimpun oleh Kontan.co.Id, Minggu (17/4)
Penerapan dari prinsip FPIC ini bisa dilakukan dengan cara memastikan bahwa persetujuan Masyarakat Adat ini disepakati tanpa merugikan pihak tertentu dari komunitas tersebut (seperti perempuan dan anak muda).
Kedua, Pemetaan Lahan Lokasi IKN terhadap Hutan Adat. Rikardo Simarmata, Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada mengungkapkan, Langkah awal pemetaan adalah dengan mengumpulkan data seputar kepemilikan lahan atau tanah yang digunakan untuk IKN. Kepemilikan bisa jadi oleh individu dan kelompok.
“Di sekitar lokasi IKN sudah banyak pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Mereka di sana sudah bergenerasi. Jadi, klaim adanya tanah adat dengan penguasaan komunal di sekitar lokasi IKN memang perlu dilakukan dengan hati-hati”, tambah Rikardo.
Baca Juga: Jokowi: Yang Namanya Pembangunan Infrastruktur, Multiplier Effect-nya Kemana-mana
Ketiga, Tata Kelola IKN yang Mengedepankan Ekonomi Hijau. Menurut Riche Rahma Dewita, Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mengatakan, arah pembangunan ekonomi hijau bisa difokuskan pada praktik-praktik jasa lingkungan yang sesuai dengan kapasitas masyarakat setempat.
“Misalnya, pemanfaatan air sebagai pembangkit tenaga listrik, penerimaan pendapatan dari aksi pelestarian hutan lindung yang bisa berkontribusi terhadap penurunan efek gas rumah kaca negara, ataupun penyelenggaraan agroforestry yang memanfaatkan hasil bumi dari hutan,” Sebut Riche.
Penyelenggaraan ekonomi hijau diharapkan mampu menjembatani potensi konflik kepentingan agar masyarakat sekitar merasakan manfaat ekonomi sekaligus menerima manfaat dari keseimbangan ekologi yang terjaga dengan baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News