Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hilirisasi nikel telah berhasil meningkatkan nilai ekspor nikel Indonesia. Dimulai dengan pelarangan ekspor bijih nikel pada 2020 untuk memberi nilai tambah. Meskipun mendapat tentangan dan digugat oleh Uni Eropa, hasilnya positif.
Data BPS menunjukkan ekspor nikel pada 2020 adalah US$ 808,41 juta, turun 0,61% dari 2019. Namun, pada 2021 melonjak 58,89% menjadi US$ 1,28 miliar dan 362,45% menjadi US$ 5,94 miliar di 2022. Sampai Juli 2023, ekspor mencapai US$ 3,45 miliar.
Meski demikian, capaian tersebut jangan membuat Indonesia cepat puas. Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengungkapkan, perlu ada diversifikasi produk atau komoditas.
Baca Juga: Berhasil Ungkit Nilai Ekspor, Pemerintah Akan Perkuat Hilirisasi
"Tidak hanya nikel, tetapi ekspansi ke komoditas lain juga perlu untuk merambah pasar yang lebih luas, sehingga hasil nilai tambah yang lebih tinggi," ujar Faiz kepada Kontan.co.id, Selasa (15/8).
Selain itu, Faiz turut menyoroti devisa hasil ekspor (DHE) yang masuk dari ekspor komoditas ini. Ia melihat, DHE yang masuk belum signifikan meski memang sudah mulai meningkat.
Hanya, ia maklum, karena sebenarnya ini sehubungan dengan Peraturan Pemerintah (PP) no. 36 terkait DHE sumber daya alam (SDA) yang masih tergolong anyar.
PP pengganti PP no. 1 tahun 2019 ini masih dalam upaya sosialisasi dan baru diberlakukan per 1 Agustus 2023.
Baca Juga: Sederet Aksi Korporasi MIND ID, dari Transisi Energi hingga Hilirisasi Tambang
Faiz pun berharap ke depan pemerintah tetap mempertimbangkan keberlanjutan dari program hilirisasi agar tetap membawa manfaat pada Indonesia.
Sedangkan Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual meminta pemerintah untuk memperluas hilirisasinya untuk lebih ke hilir sehingga sampai ke produk jadi.
Pertimbangan David, ini akan memperkuat industri sehingga terjadi penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.
"Produk atau komoditas hilirisasi juga perlu diperluas. Karena ini menguntungkan dan berpotesni menaikkan ekspor mengingat beberapa proyek sedang berjalan," ujar David.
Senada dengan David, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengisyaratakan hilirisasi yang saat ini juga belum optimal.
Pasalnya pengolahan belum sampai ke produk akhir. Sehingga, dampaknya ke pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan hanya terkonsentrasi di investasi dari ekspor saja.
"Belum ada dampak penggunaan tenaga kerja yang terlalu besar, sehingga dampaknya ke konsumsi masyarakat belum cukup signifikan," kata Josua.
Hanya, Josua maklum proses tersebut butuh waktu. Ia pun mendorong pemerintah tetap berupaya mengembangkan hilirisasi agar lebih mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Baca Juga: Sanggah Pernyataan Faisal Basri, Kemenko Marves Beberkan 6 Fakta Terkiat Hirilisasi
Bahkan, ia mendorong perluasan hilirisasi ke produk unggulan Indonesia lainnya, sepetri bauksit, tembaga, juga timah.
Sejauh ini, Josua mengapresiasi langkah hilirisasi pemerintah. Karena dalam jangka pendek, bisa mengungkit ekspor di tengah normalisasi harga komoditas.
Bahkan tak menutup kemungkinan dalam jangka panjang, komoditas yang dihilirisasi bisa menggeser porsi ekspor batubara dan CPO yang merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News