kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Harry Tanoe masuk Nasdem, lampu kuning bagi independensi lembaga penyiaran


Jumat, 14 Oktober 2011 / 19:33 WIB
ILUSTRASI. Daftar aplikasi yang paling banyak diunduh pengguna Apple tahun 2020, Zoom nomor 1


Reporter: Muhammad Yazid, Narita Indrastiti, Umar Idris | Editor: Umar Idris

JAKARTA. Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) menilai masuknya pemilik Grup MNC ke Partai NasDem menjadi lampu kuning bagi independensi lembaga penyiaran.

Kondisi ini membuat makin sedikit media penyiaran yang bebas dari afiliasi partai politik tertentu. Saat ini, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie memiliki ANTV dan TV One, kemudian Surya Paloh, pemilik Metro TV, adalah pendiri Partai Nasdem. Santer dikabarkan, Chairul Tanjung, pemilik duo-Trans TV akan diangkat jadi Menteri.

Koordinator KIDP Eko Maryadi berpendapat situasi ini membuat dunia penyiaran yang carut marut makin kacau. "Dalam situasi seperti itu, akhirnya publik dirugikan karena frekuensi penyiaran yang merupakan domain free to air hanya dimanfaatkan untuk mengeruk bisnis kelompok tertentu atau menyuarakan kepentingan politik pemiliknya," kata Eko Maryadi dalam press release yang diterima KONTAN.

KIDP mengingatkan, pemusatan bisnis penyiaran dan kekuasaan di satu tangan adalah berbahaya bagi demokrasi penyiaran. "Penyiaran yang demokratis ditandai adanya keberagaman isi siaran (diversity of content) dan keberagaman kepemilikan (diversity of ownership)" ujar Eko Maryadi.

Untuk itu, KIDP mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengawasi lebih ketat isi atau content penyiaran dan menegakkan aturan terhadap pelanggaran konten dan aturan kepemilikan stasiun penyiaran.

Eko Maryadi meminta KPI dan Kemkominfo mempertimbangkan masalah afiliasi pemilik media penyiaran ke partai politik saat melakukan evaluasi perpanjangan izin frekuensi penyiaran yang berlaku setiap sepuluh tahun. Afiliasi terhadap partai melanggar azas independensi penyiaran.

Sementara itu, Sekretaris KIDP, Ahmad Faisol mengatakan KIDP akan mengajak masyarakat untuk memantau apakah pemberitaan media penyiaran yang pemiliknya terafiliasi ke partai politik tertentu, hanya menyuarakan kepentingan politiknya saja atau tidak.

Hasil pemantauan tersebut akan dijadikan dasar untuk mendesak Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan KPI dalam mengevaluasi izin penyiaran lembaga-lembaga tersebut. “Kita sudah cukup dengan pengalaman penggunaan Metro TV serta ANTV dan TV One untuk kepentingan pemiliknya saat pemilu 2004 atau pemilihan ketua umum Partai Golkar.”jelas Faisol.

Lebih jauh, Faisol mengatakan, momentum masuknya pemilik media penyiaran ke partai politik harus menyadarkan pemerintah untuk mendukung terciptanya Lembaga Penyiaran Publik (LPP) yang kuat. Penguatan LPP diperlukan untuk mengimbangi lembaga penyiaran swasta yang rentan dimanfaatkan oleh kepentingan politik pemiliknya dan posisi pemerintah selama ini terkesan tunduk diatur swasta.

KIDP mendesak pemerintah agar mengutamakan lembaga penyiaran publik dalam pengaturan sistem penyiaran ke depan. Terutama untuk penentuan alokasi frekuensi saat penerapan digitalisasi penyiaran.

Pemerintah dan DPR juga harus melakukan audit menyeluruh mulai dari penggunaan dana, SDM hingga teknologi terhadap TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran publik. “Lembaga penyiaran publik yang kuat dan independen serta sistem penyiaran yang demokratis, dapat menjadi warisan positif yang akan dikenang dari Pemerintahan Presiden SBY.” pungkas Faisol.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×