kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

KIDP ajukan judicial review UU Penyiaran


Sabtu, 01 Oktober 2011 / 09:06 WIB
KIDP ajukan judicial review UU Penyiaran
ILUSTRASI. Pelajar, yuk pelajari fungsi serta bagian dari ginjal manusia.


Reporter: Eka Saputra | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) merasa perlu untuk mengajukan judicial review terhadap pasal 18 ayat 1 serta pasal 34 ayat 4 Undang-undang No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dengan uji materi pasal-pasal tersebut terhadap pasal 28 F dan pasal 33 Undang-Undang dasar 1945.

“Saat ini telah terjadi penafsiran sepihak khususnya oleh badan hukum dan perseorangan terhadap pasal-pasal tersebut demi kepentingan sekelompok pemodal,” ungkap Koordinator KIDP Eko Maryadi (30/9). Penafsiran sepihak itu pada ujungnya dianggap melanggar asas penyiaran yang demokratis yang menjamin isi siaran dan keberagamaan kepemilikan. Menurutnya saat ini telah terjadi penguasaan kepemilikan usaha penyiaran yang mengakibatkan terjadinya penguasaan opini publik.

Beberapa contoh penguasaan dan kepemilikan usaha penyiaran yang dimaksud yakni pemberian, penjualan dan pengalihan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT Visi Media Asia Tbk
yang menguasai PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV) dan PT Lativi Media Karya (TVOne). Initial Public Offering (IPO) badan usaha ini direncanakan berlangsung pada Oktober 2011.

Di samping itu ada pemberian, penjualan dan pengalihan IPP dalam kasus PT Elang Mahkota Teknologi Tbk yang menguasai PT Indosiar Karya Media yang memiliki PT. Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) dan menguasai PT. Surya Citra Media Tbk (SCMA) yang memiliki PT. Surya Citra Televisi (SCTV), yang dilakukan sekitar Juni 2011.

Ada pula pemberian, penjualan dan pengalihan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dalam kasus PT. Media Nusantara Citra Tbk yang menguasai/memiliki PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI/MNC
TV), PT. Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT. Global Informasi Bermutu (Global TV), yang dilakukan sekitar Juni 2007.

Eko menilai situasi ini membuat lembaga penyiaran publik dan komunitas kehilangan ruang untuk menyebarluaskan informasi yang beragam. Pilihan masyarakat untuk mendapatkan informasi pun jadi sangat terbatas.

Berkenaan dengan rencana ini, Paulus Widianto, mantan ketua panitia khusus Undang-undang tentang Penyiaran DPR RI menyatakan telah terjadi penyimpangan yang sangat luar biasa dalam implementasi Undang-undang penyiaran yang dimaksud. “Ada pembuatan peraturan pemerintah yang tidak sejalan dengan semangat undang-undang tersebut,” katanya.

Padahal menurutnya sudah cukup jelas diatur dalam undang-undang tersebut bahwa satu badan hukum apa pun di tingkat mana pun atau perseorangan tidak boleh memiliki lebih dari 1 (satu) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 1 (satu) provinsi. Selain itu IPP dilarang dipindahtangankan, dijual, atau dialihkan kepada pihak lain.

Ia mempertanyakan sikap pemerintah yang tampak membiarkan keadaan ini berlangsung. Hal itu menurutnya sangat fatal. Untuk itulah judicial review dilakukan agar tidak lagi terjadi salah tafsir terhadap aturan baku yang ada. Paulus mengaku sudah memiliki dokumen lengkap IPP badan usaha penyiaran yang bisa dijadikan alat bukti judicial review.

Sementara itu anggota tim perumus judicial review, Christiana Chelsea, mengatakan titik dasar judicial review adalah kebebasan masyarakat mendapatkan informasi yang bertumpu pada asas keadilan, demokrasi dan supremasi hukum. Selain itu ia mengingatkan bila IPP itu menggunakan spectrum frekuensi radio yang merupakan kekayaan alam terbatas yang harusnya dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama dan bukan hanya dinikmati segelintir pihak.

“Juga, perlu diingat bersama bahwa dalam Undang-undang Penyiaran juga ada ketentuan pidana dengan ancaman penjara maksimal dua tahun atau denda maksimal 5 miliar bagi badan usaha penyiaran yang memindah tangankan IPP pada pihak lain,” tambahnya.

Lantas apa ada upaya untuk menempuh jalur pidana? Chelsea mengatakan pihaknya telah menjajaki kemungkinan hukum, mulai dari sudut pandang pidana, perdata, class action, dan judicial review. Namun kemudian, sementara dipilih langkah judicial review terlebih dahulu. Harapannya putusan MK nanti akan menguatkan tuntutan lain yang akan dilakukan.

“Saat ini untuk tuntutan pidana, kita tengah mengumpulkan barang-barang bukti yang lebih konkret. Karena untuk dipolisikan itu kan harus menyertakan bukti selengkap mungkin juga ya,” katanya.

Di sisi lain Anggota Komisi I DPR RI, Effendi Choirie, melihat selain faktor pemerintah ada dua hal yang membuat pengawasan terhadap industry penyiaran seperti berjalan di tempat. Pertama minimnya
orang-orang yang berkonsentrasi di bidang penyiaran, mulai dari wilayah keilmuan hingga bidang hukum. Kemudian yang kedua, perhatian media itu sendiri yang menurutnya masih kurang tertarik terhadap problem-problem penyiaran.

Untuk itu ia menyatakan mendukung upaya judicial review, dan juga pemidanaan, yang akan dilakukan KDIP. “Pemerintah itu terhadap penguasa media itu tampak selalu kalah, bahkan mungkin takut. Saat
dulu ikut merancang RUU Penyiaran itu, saya sempat di-blacklist sejumlah media. Situasi yang seperti ini kan memprihatinkan ya,” ujar Choirie.

Selain itu dirinya berjanji untuk mempercepat proses revisi Undang-undang Penyiaran yang sedang digodok di Komisi I. Salah satu revisi penting terkait peran pemerintah dalam urusan perizinan. Menurutnya jauh lebih mudah mengontrol Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) ketimbang pemerintah, untuk itu sebaiknya urusan perizinan diserahkan pada lembaga independen. Agar tidak tumpang tindih
kepentingan.

Upaya pemberdayaan penyiaran publik, yang diserahkan pada TVRI dan RRI, juga akan coba diberdayakan ulang. “TVRI itu untuk tahun 2012 minta anggaran Rp 1 triliun, kalau tidak bisa lebih bagus ketimbang lembaga penyiaran swasta bagaimana,” kata Choirie.

Yang tidak kalah penting terkait posisi Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kemenkominfo). Menurutnya akan lebih baik bila Kemenkominfo fokus mengurusi pengembangan teknologi komunikasi dan informasi dan tidak perlu sampai mengurusi media cetak dan penyiaran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×