Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana
"Gandum, bawang putih hampir 100% impor, kedelai 97% impor, gula 70% impor, daging lebih dari 50% impor. Ketika harga dunia naik setelah pandemi, pasti kita akan kena imbas," ujar Dwi yang juga menjabat sebagai Ketua Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI).
Dwi pun mengatakan jika kerentanan akan ketahanan pangan makin membesar setelah melihat sejumlah peristiwa yang tak terprediksi dan di luar kemampuan pemerintah untuk mengontrolnya. Ia mencontohkan hal ini terjadi pada komoditas kedelai yang harganya tiba-tiba melonjak karena turunnya produksi dunia.
Tak hanya harga kedelai yang naik, harga minyak nabati lainnya, seperti minyak sawit, pun ikut terkerek naik. Idealnya, kebutuhan pangan dalam negeri bisa dipenuhi oleh petani dalam negeri. Namun, Dwi menyebut, hal ini sangat sulit terjadi karena tingginya disparitas harga pangan produsi dalam negeri dengan produk impor.
Dwi melihat, upaya peningkatan produksi dalam negeri terutama Kementerian Pertanian, baru sebatas retorika belaka. "Ada contohnya jika Kementerian Pertanian pernah berhasil? Segala macam program, hanya sekadar program semata. Kebijakan (wajib tanam) dan target swasembada bawang putih saja, gak jelas lagi hasilnya," kata Dwi.
Baca Juga: Inflasi April Potensi Melonjak Tinggi
Dwi menuturkan, ketidakberhasilan peningkatan produksi sendiri bisa dilihat dari data impor delapan komoditas pangan utama yang terus meningkat. Ia menyebut, pada tahun 2008, ada 8 juta ton komoditas pangan yang diimpor.
Dimana 10 tahun kemudian, volumenya melonjak mencapai 27,6 juta ton. Sedikit menurun di tahun 2019 menjadi 25 juta ton, kemudian kembali meningkat menjadi 26 juta ton di 2020 dan naik lagi menjadi 27,7 juta ton di 2021.
Selain meningkatnya permintaan, kenaikan impor pangan ini terjadi karena adanya disparitas harga komoditas pangan lokal dan impor. Harga komoditas yang lebih murah dengan sejumlah insentif tarif menurut Dwi akan membuat petani lama kelamaan enggan berproduksi.
Akibat rendahnya produksi pangan, Peneliti INDEF Rusli Abdullah menyatakan, impor pun menjad andalan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat. Sayangnya, menurut Rusli impor kerap dilakukan dalam timing yang tepat.
"Selama pandemi tidak ada timeline yang benar soal impor, justru dilakukan saat panen (dalam negeri) berlangsung," papar Rusli. Menurut dia, untuk melakukan impor dengan tepat, Kementerian Pertanian seharusnya menyediakan data yang valid.
Baca Juga: Kenaikan Harga Barang dan Komoditas Bisa Mengusik Bisnis Ritel Jelang Ramadan
Dwi menegaskan, data yang valid dibutuhkan agar ketika impor dilakukan tidak menggempur harga petani. "Kalau kita butuhnya 40, impornya 60, ya kasihan petaninya," kata Rusli.
Rusli mencontohkan, pada tahun 2018, pemerintah sudah mengunakan citra satelit untuk menghitung luasa lahan padi. Hal ini menghasilkan hitungan yang lebih akurat terkait lahan dan produksi beras. "Sekarang beras aman. Tak ada kisruh kenaikan harga sejak 2018. Karena data yang valid dikeluarkan oleh BPS. Jadi tak bisa main-main lagi sekarang," jelas dia.
Khusus soal daging, Rusli melihat Kementerian Pertanian juga belum fokus untuk mengurusi persoalan kekurangan pasokan yang harus ditutup oleh impor. "Kenapa selama ini pemerintah tidak membangun peternakan terpusat yang menyediakan daging? Bisa tanyakan ke Kementerian Pertanian saya melihatnya ini belum menjadi prioritas. Ini karena fokus tetap di beras, penyediaan hewan anggarannya tidak ada," tutur Rusli.
Ke depannya, Rusli meminta ada dukungan politik, agar pemerintah bisa mengembangan peternakan sapi berskala besar.
Baca Juga: Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro: Subsidi Energi dan Inflasi Bisa Meningkat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News