kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Harga Minyak Mentah Meroket, Ini Dampaknya ke Anggaran Pemerintah


Senin, 14 Februari 2022 / 07:45 WIB
Harga Minyak Mentah Meroket, Ini Dampaknya ke Anggaran Pemerintah
ILUSTRASI. Harga minyak mentah terus menguat


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren harga minyak mentah global yang terus meroket berdampak pada anggaran negara. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, hal tersebut terjadi mengingat masih besarnya eksposur baik dari sisi pendapatan (PPh dan PNBP) serta belanja negara (subsidi ataupun kompensasi).

Jika mengacu pada Nota Keuangan tahun 2022, Indonesia mendapatkan dampak positif dari meningkatnya harga minyak dunia, yaitu potensi meningkatnya surplus anggaran seiring dengan naiknya pendapatan yang berasal dari sektor minyak dan gas bumi (migas).

“Menurut analisis sensitivitas dalam Anggaran pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022, setiap kenaikan ICP sebesar US$ 1 per barel berpotensi meningkatkan surplus anggaran sebesar Rp 0,4 Triliun,” ujar Josua kepada Kontan.co.id, Minggu (13/2).

Dia menambahkan, melihat kinerja di tahun 2021, ketika harga minyak dan batubara mengalami kenaikan secara signifikan dibandingkan tahun sebelumnya, pendapatan Sumber Daya Alam (SDA) migas maupun batubara juga tercatat kenaikan yang signifikan.

Baca Juga: Harga Minyak Mentah Meroket, SPBU Kerek Harga BBM Non Subsidi

Realisasi pendapatan SDA migas tercatat mencapai Rp 98 triliun atau 130,7% dari target APBN 2021. Begitu pula dengan realisasi pendapatan SDA non migas yang tercatat mencapai Rp 52,8 triliun atau 181,4% dari target.

Begitu pula dengan kenaikan harga batubara yang berpotensi meningkatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang didapatkan pemerintah. Sektor pertambangan mineral dan batubara menghasilkan sebagian besar pendapatan SDA non migas yakni sebesar Rp 44,89 triliun atau tumbuh 11,4% yoy.

“Ke depan, harga batubara kami perkirakan akan turun secara gradual sejalan dengan mereda-nya supply bottleneck di negara-negara produsen komoditas utama. Selain itu juga, dengan adanya tapering dan potensi kenaikan suku bunga AS yang berpotensi menguatkan dolar Amerika Serikat (AS), kami perkirakan akan melemahkan harga komoditas,” lanjut Josua.

Lebih rinci Josua mengatakan, penguatan dolar AS akan membuat komoditas relatif menjadi lebih mahal bagi konsumen negara berkembang karena hampir semua komoditas ditransaksikan dalam dolar AS.

Namun demikian, harga komoditas masih akan relatif tinggi dibandingkan dengan harga harga pra pandemi pada tahun 2018 dan 2019.

Menurutnya, harga minyak mentah diperkirakan masih berada dalam level di atas US$ 75 per barel dengan harga batubara di atas US$ 100 per ton pada tahun 2022.

Baca Juga: Direktur Celios Sebut Target Penerimaan Pajak 2022 Akan Tercapai, Ini Alasannya

“Dengan masih relatif tingginya harga batubara dan minyak tahun ini, kami perkirakan penerimaan negara pun masih akan mendapatkan dampak positif di tahun 2022 ini, meskipun tidak akan sebesar pada tahun 2021,” tambahnya.

Dari sisi subsidi, menurutnya juga akan mengalami peningkatan akibat kenaikan harga minyak mentah. Hal ini sudah terefleksi dari kenaikan belanja subsidi energi pemerintah pada tahun 2021 yang naik menjadi Rp 104,4 triliun atau sebesar 29% yoy.

Selain itu, resiko anggaran akan tetap ada mengingat kebijakan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) maupun listrik yang dipertahankan tetap hingga saat ini.

“Dengan demikian, harga BBM yang dikontrol ketat oleh pemerintah sedangkan harga minyak terus merangkak naik berpotensi menekan kinerja keuangan Pertamina dan PLN yang merupakan BUMN atau quasi government,” ujar Josua.

Dalam APBN 2022 disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban memberikan kompensasi kepada badan usaha apabila berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terdapat kekurangan penerimaan badan usaha yang disebabkan tidak disesuaikannya harga eceran BBM (Perpres No. 43 Tahun 2018).

“Pola aturan yang serupa juga ditetapkan di listrik. Selisih tersebut akan menjadi utang pemerintah yang akan dianggarkan di APBN selanjutnya,” tutur Josua.

Dia menegaskan, jika harga BBM maupun listrik tidak disesuaikan, maka berpotensi menjadi beban anggaran pada APBN berikutnya dikarenakan harus menyediakan kompensasi atas selisih harga tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×