Reporter: Leni Wandira | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menjelang bulan Ramadan, harga beras di pasaran masih mahal. Harga beras premium di pasaran kini mencapai Rp 17.500- Rp 19.000 per kilogram. Apakah harga beras yang mahal ini membuat petani untung?
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE) Eliza Mardian mengatakan, kenaikan harga gabah ditingkat petani yang memicu kenaikan harga beras di tingkat konsumen itu dampaknya terasa bagi petani.
Ia menyebut, petani cenderung mendapat keuntungan dari kondisi saat ini. Hal itu nampak dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang rata-rata di tahun 2023 itu mencapai 107.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan NTP subsektor hortikultura tercatat sebesar 107,22 poin pada bulan lalu. Angkanya juga naik 0,96% dibandingkan sebulan sebelumnya (m-to-m).
"Namun kondisi saat ini, harga gabah sudah mulai turun. Sementara beras masih stabil tinggi. Ini mencerminkan bahwa ketika penurunan harga beras di pedagang lebih sedikit dibandingkan dengan penurunan harga gabah di level petani," kata Eliza saat dikonfirmasi KONTAN, Selasa (5/4).
Baca Juga: Inflasi Bahan Makanan Diperkirakan Melesat Hingga 11,5% Saat Bulan Ramadan
Foto: Perkembangan harga beras dan GKP (Rupiah)
Lebih lanjut, kata Eliza, harga gabah petani lebih volatile dibandingkan beras. Jika pun ketika sudah panen raya, penurunan harga gabah lebih dalam jika dibandingkan penurunan harga beras.
"Petani mendapat keuntungan, tapi tipis. Tetap lebih banyak di yang memegang stok dan informasi pasar yakni perantara (pedagang besar)," ujat Eliza.
Alangkah lebih baik jika ingin menyejahterakan petani, seharusnya pemerintah bisa mencegah harga gabah agar tidak jatuh hingga di bawah kisaran Rp 5.700 per kg.
"Petani harapannya ketika panen, pemerintah siap sedia melindungi hrga gabah agar tidak jatuh, minimal hrga gabah dijaga dikisaran 5700an," kata Eliza.
Ia mengatakan, jika harga gabah berada di bawah kisaran Rp 5.700 per kg, maka petani akan rugi telak. Untuk itu, perlunya pemerintah merevisi harga pembelian pemerintah (HPP) agar petani kita bisa merasakan keuntungan juga dari tingginya harga beras.
"Jika di bawah itu petani akan merugi. pemerintah semestinya merevisi harga pembelian pemerintah (HPP) yang Rp 5.000 per kg. Petani menjual ke Bulog malah merugi, padahal minimal jual ke Bulog itu impas," jelas Eliza.
Foto: perkembangan lahan pertanian (juta hektare)
Eliza juga menyoroti lahan pertanian atau sawah yang bertambah luas tapi tidak diikuti dengan produksi yang optimal.
"Lahan pertanian di jawa mungkin susut, tapi diluar jawa bertambah krna program percetakan sawah-sawah. Buktinya secara grafik luasan sawah indo bertambah," ujar dia.
Kendati demikian, meski luas lahannya bertambah, tetapi produksinya masih belum optimal. Karena di lahan rawa dan bekas hutan sehingga jumlah produksinya tidak menutupi penurunan akibat konversi sawah.
Ia menilai pentingnya peran pemerintah dalam hal ini agar kesejahteraan petani tak hanya menjadi sekedar jargon saja. Namun, dibuktikan melalui aksi pembenahan orientasi kebijakan pemerintah.
"Yang harus dibenahi adalah orientasi kebijakan pemerintah. keberpihakan pemerintah dalam hal ini harus mendukung kesejahteraan petani. jangan mendukung para rent seeker," kata Eliza.
Baca Juga: Pemerintah Impor Beras, Kedelai, Gula hingga Bawang Putih Jelang Ramadhan
Menurut data Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), Selasa (5/3/2024) harga beras di tingkat pedagang kembali merangkak naik.
Bahkan, harga beras pagi ini jauh melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, yakni Rp13.900-Rp14.800 per kilogram untuk beras premium dan yakni Rp10.900-Rp11.800 per kilogram untuk beras medium.
Harga beras premium naik sebesar 2,73% menjadi Rp16.920 per kilogram. Harga beras premium tertinggi terjadi di Papua Pegunungan, yakni sebesar Rp26.000 per kilogram, sedangkan harga terendah terjadi di Jawa Timur sebesar Rp14.500 per kilogram.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News