Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyuntik dana Rp 200 triliun ke bank-bank Himbara dinilai tidak tepat sasaran untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Menteri Purbaya resmi menyalurkan dana sebesar Rp 200 triliun dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) ke enam bank Himbara demi mendorong ekonomi melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025. Namun, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai langkah tersebut tak menjawab masalah yang ada.
Wijayanto bersama Aliansi Ekonom Indonesia sebelumnya telah merumuskan tujuh desakan ekonomi yang perlu segera ditangani pemerintah Indonesia. Namun, likuiditas bukan satu di antaranya, sebab saat ini Indonesia tak sedang mengalami kesulitan likuiditas.
Baca Juga: Ekonom Sebut Menkeu Purbaya adalah Menteri Reflasi, Apa Itu?
Kondisi nyata saat ini adalah dunia usaha masih menahan ekspansi akibat keadaan ekonomi yang belum kondusif, sehingga permintaan kredit di sektor riil diperkirakan tetap rendah. Dus, guyuran dana jumbo berbunga 4% tersebut berisiko tidak terserap.
“Sangat mungkin bank akan menggunakannya untuk refinancing kredit yang sudah ada. Lalu hasil refinancing itu bisa saja dialihkan ke (instrumen aman seperti) SRBI atau SBN. Jadi, total (penyaluran) kredit tidak akan meningkat,” ujar Wijayanto kepada Kontan, Minggu (14/9/2025).
Di samping itu, ia menilai nominal Rp 200 triliun yang muncul diambil tanpa basis perhitungan yang jelas. Padahal, pemerintah seharusnya lebih dulu mengkalkulasi kebutuhan riil, mekanisme distribusi, serta skema pengawasan agar kebijakan benar-benar berdampak pada perekonomian.
Apalagi, dana tersebut dicaplok dari SAL yang selama ini digunakan untuk menopang belanja APBN di awal tahun, saat penerimaan pajak belum masuk. “Jika SAL tinggal Rp 250 triliun, (penggunaan Rp 200 triliun) ini sesungguhnya sangat berisiko. Potensi shortfall penerimaan pada 2025 dan 2026 bisa meningkat,” jelasnya.
Wijayanto bilang persoalan utama yang dihadapi perekonomian saat ini adalah lemahnya permintaan. Maka, yang perlu dilakukan pemerintah sebenarnya adalah memperkuat permintaan dengan mendorong stimulus-stimulus konsumsi masyarakat, serta memperbaiki iklim investasi dan usaha. Jika demand sudah menggeliat, barulah supply yang berkaitan dengan likuiditas bisa ditambah.
Menurut Wijayanto kondisi perbankan saat ini justru sudah kelebihan likuiditas. Penambahan dana berbunga 4% yang bersifat on call malah berpotensi menjadi beban.
“Ini dana mahal. Bandingkan dengan giro on call yang berbunga nol persen, atau deposito berjangka yang hanya 2,5%–3,5%. Alih-alih mendorong kredit, justru bisa menekan profitabilitas bank,” tandasnya.
Untuk diketahui, aliran Rp 200 triliun ditempatkan Kementerian Keuangan dalam bentuk deposito on call dengan bunga sebesar 80,476% dari BI rate atau 4,02%. Dengan kata lain, bank perlu membayarkan bunga sekitar 4% kepada pemerintah sebagai pemilik deposito.
Baca Juga: Menkeu Purbaya Guyur Perbankan Rp 200 Triliun, Emiten di Sektor Ini Akan Dapat Berkah
Selanjutnya: Nelayan Tradisional Khawatir Isu Udang Radioaktif Berdampak ke Komoditas Lain
Menarik Dibaca: Daftar 7 Film Biografi Tokoh Dunia Ternama dan Berpengaruh, Sudah Nonton Semua?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News