Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah ancaman resesi global dan perlambatan ekonomi negara-negara di dunia, International Monetary Fund (IMF) masih memberikan penilaian positif terhadap potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2023.
Berdasarkan laporan World Economic Outlook edisi Oktober 2022, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan masih akan berada di level 5,0% year on year (yoy).
Hanya saja, Guru Besar Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) Mudrajad Kuncoro melihat, dari semua indikator utang, hanya debt to service ratio (DSR) Indonesia sudah cukup mengkhawatirkan. Pasalnya, DSR Indonesia telah berada di atas batas aman atau berada di atas 20%.
Mudrajad mengatakan, ada tiga indikator utang yang bisa dilihat, yaitu debt to service ratio, debt export ratio dan debt to GPD ratio. Adapun debt to service ratio adalah rasio utang terhadap pendapatan, di mana jumlah beban pembayaran cicilan pokok utang luar negeri jangka panjang yang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor.
Baca Juga: Ekonomi Indonesia Aman dari Ancaman Resesi, tapi Tetap Waspada
Dari data World Bank, kata Mudrajat, DSR Indonesia pada tahun 2020 berada pada level 36,7%. Angka ini turun jika dibandingkan dengan posisi tahun 2019 yang sebesar 39,4%.
Hanya saja, angka tersebut masih berada di atas aman rasio lantaran DSR yang aman untuk negara berkembang seperti Indonesia dilevel 20% hingga 25%.
"Kalau kita bicara yang paling alarm (bahaya) adalah yang DSR. Itu di atas 20%. Yang lain-lain fine, DSR kita sejak pemerintahan Jokowi itu di atas 20%," ujar Mudrajad dalam Seminar Nasional Badan Keahlian Sekretariat Jenderal DPR RI dengan tema "Percepatan Pemulihan Ekonomi dan Penguatan Berkelanjutan di Tengah Tantangan Dinamika Global," Rabu (19/10).
Sebagai catatan, rasio DSR mencerminkan kemampuan sebuah negara untuk menyelesaokan kewajibannya membayar utang, sehingga apabila rasio DSR semakin besar, maka berarti beban utang yang ditanggung juga semakin besar.
Mulai tahun 2014, DSR Indonesia telah berada pada level di atas 20%, yakni sebesar 29,9%. Kemudian pada tahun 2015 naik lagi menjadi 34,6%, lalu 37,5% di tahun 2016. Untuk di tahun 2017 mengalami penurunan dari posisi tahun sebelumnya menjadi 29,4% dan 25,1% di tahun 2018.
Sebagai bahan perbandingan dengan negara lain, posisi DSR Indonesia dengan Sri Lanka juga tidak jauh berbeda. Di tahun 2020, Sri Lanka berada pada level 39,3% dan di tahun 2019 berada pada level 31,2%.
Namun mengutip dari dokumen Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI), DSR Tier-1 per akhir kuartal II-2022 tercatat sebesar 18,04%, atau meningkat jika dibandingkan kuartal sebelumnya yang hanya 17,00%.
Baca Juga: Strategi Pemerintah Gunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk Sumber Pembiayaan APBN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News