kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.526.000   -2.000   -0,13%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Globalisasi, Negara, Saudagar, dan Rakyat


Jumat, 16 Mei 2014 / 16:58 WIB
Globalisasi, Negara, Saudagar, dan Rakyat
ILUSTRASI. Tanpa Perlu Minum Obat, 3 Cara Alami Ini Bisa Mengatasi Masalah Sakit Kepala.


Reporter: Umar Idris | Editor: Umar Idris

Pengantar

Artikel opini telah terbit di Harian KONTAN, Jumat 16 April 2014. Kami memuatnya lagi di kontan.co.id untuk menjangkau pembaca yang lebih banyak lagi. Selamat membaca 

Globalisasi, Negara, Saudagar, dan Rakyat

Oleh Fajar Kurnianto,
Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Globalisasi telah menjadi arus besar dunia yang tak terbendung. Globalisasi didefinisikan sebagai interconnectivity yang mencapai tingkat tertinggi seperti tampak pada extensity, intensity, velocity, dan dampak yang ditimbulkan (David Held et.al, 1999). Ideologi globalisme menyatakan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan dunia hanya dapat dicapai dengan perdagangan bebas yang dilakukan pengusaha swasta, tanpa intervensi oleh negara di bidang ekonomi (Manfred Steger, 2005).

Dalam era globalisasi, batas-batas negara seperti kabur, bahkan lenyap. Kenichi Omahe dalam bukunya, The End of Nation-State, secara eksplisit mengumumkan berakhirnya “nation-state” atau “negara-bangsa”. Negara, tutur Omahe, adalah “the artefact of the 18th and 19th centuries”. Perdagangan antarnegara begitu terbuka melewati tapal batas dan merusak garis-garis peta politik tradisional yang ada selama ini.

Thomas Friedman dalam bukunya, The Lexus and the Olive Tree, mengatakan, semua negara di dunia kini harus berpakaian sama, yaitu “The Golden Straitjacket”. Artinya, negara harus menjalankan pasar bebas, membuka lebar-lebar pasarnya untuk produk-produk dari mana saja di dunia. Nasionalisme bagi Omahe dan Friedman adalah penghambat dari kegiatan ekonomi yang kian mengglobal ini. Nasionalisme juga berakhir, seiring dengan berakhirnya negara-bangsa.

Apakah eksistensi negara benar-benar lenyap? Faktanya tidak ada satu pun negara di dunia yang lenyap karena globalisasi. Meski begitu, globalisasi tetap memiliki dampak bagi suatu negara. Negara memang masih eksis, tapi perannya sedikit banyak berubah. Ronen Palan dan Jason Abbott dalam buku mereka, State Strategies in the Global Political Economy, memperlihatkan bagaimana negara-negara berusaha sekuat tenaga menyusun strategi yang tepat untuk menghadapi aktor-aktor global seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO), ataupun CEO dari korporasi multinasional (MNC).

Menurut mereka, setidaknya ada tujuh strategi yang negara lakukan. Pertama, negara yang satu bergabung dengan negara lain dan membangun sebuah kelompok regional. Kedua, mengembangkan model developmental state. Ketiga, mengembangkan modus “demokrasi sosial” dalam usahanya mengintegrasikan diri dalam ekonomi dunia. Keempat, beberapa negara berupaya untuk mendominasi ekonomi regional, bahkan ekonomi dunia untuk menjalankan hegemoni.

Negara bukan centeng Saudagar

Kelima, negara miskin dan lemah memanfaatkan tenaga murah yang melimpah untuk menarik modal asing. Keenam, mereka akan mencari keunggulan khusus atau niches yang bersifat paratis di pasar dunia, seperti tax havens. Ketujuh, mereka mungkin sama sekali tidak ikut dalam kompetisi global akibat himpitan struktur. Ketujuh strategi negara tersebut sebenarnya mewakili tujuh tipologi negara-negara yang sekarang ada di dunia.

Patut dicermati bahwa dalam globalisasi terjadi “pertarungan kepentingan” antara negara di satu sisi dan aktor-aktor global di sisi lain. Jika diibaratkan, mereka adalah “para penyerbu”, dan negara berusaha bertahan dari “serbuan” itu.Jika di era kolonialisme “serbuan itu” menggunakan moncong senjata, dalam globalisasi serbuan itu menggunakan kekuatan ekonomi, dan para penyerbu itu bukan lagi mewakili negara tertentu, tetapi mewakili para “saudagar” dunia yang dengan lincah dan gesit masuk dari satu negara ke negara lain. Apalagi, dengan kemajuan teknologi seperti internet, dinding-dinding pembatas negara pun runtuh.

Dalam sejarah, sebenarnya negara dan saudagar seperti saudara kembar. Negara membutuhkan kaum saudagar untuk membiayai kehidupan para pemimpin, membiayai birokrasi, dan membiayai perang. Sebaliknya, kaum saudagar juga membutuhkan perlindungan dari negara dalam menjalankan usahanya. Di masa kolonialisme, negara secara terang-terangan mendukung usaha para saudagar untuk membuka wilayah-wilayah baru, untuk mendapatkan sumber daya alam. Hubungan saling menguntungkan itu berlangsung hingga hari ini.

Lantas, bagaimana dengan rakyat yang ada di antara kepentingan negara dan saudagar? Relasi negara dengan saudagar sebetulnya dapat membawa manfaat bagi rakyat. Sayangnya, dalam banyak hal negara tidak terlalu memerhatikan rakyat, dan lebih memerhatikan kepentingan saudagar, demi keberlangsungan relasi yang saling menguntungkan tadi. Ketika kepentingan para saudagar berbenturan dengan kepentingan rakyat, negara lebih memihak para saudagar. Negara seperti tak berdaya, dan fungsinya sebagai pelindung rakyat terkadang berubah – mengembangkan konsep Hertz – menjadi “centeng”, pelindung bayaran dari sekelompok kecil saudagar, nasional maupun global.

Padahal, negara pada mulanya didirikan sebagai organisasi untuk melindungi warga negara, namun pada akhirnya negara tidak mampu mencapai tujuannya itu semata-mata karena negara harus tunduk pada kekuatan globalisasi. Negara tidak mau melindungi warga negaranya, malah menjadi makelar global. Negara juga dibentuk untuk tujuan menyejahterakan warga. Magnis-Suseno dalam bukunya, Etika Politik, menegaskan bahwa negara berkewajiban untuk mengusahakan semua prasyarat yang diperlukan oleh masyarakat agar dapat sejahtera.

Dalam konteks Indonesia, negara harus menjamin agar arus globalisasi tidak sampai menggerus keadilan sosial seperti digariskan Pancasila. Kita bisa menjadi bagian dari globalisasi tanpa mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan asing. Pengalaman pahit berada dalam ketiak IMF setelah reformasi hendaknya tidak terulang lagi.

Para saudagar asing boleh saja berinvestasi di sini, tapi negara harus memberikan perlindungan terhadap warganya. Negara jangan sampai menjadi “centeng” yang menghamba pada asing sehingga kedaulatan negara tergadai. Negara harus jadi subjek yang memanfaatkan globalisasi, bukan objek yang dihantam dan dilahap oleh globalisasi.                  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×