kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.919   11,00   0,07%
  • IDX 7.199   58,00   0,81%
  • KOMPAS100 1.106   10,86   0,99%
  • LQ45 878   11,76   1,36%
  • ISSI 220   0,63   0,29%
  • IDX30 449   6,24   1,41%
  • IDXHIDIV20 540   5,54   1,04%
  • IDX80 127   1,40   1,11%
  • IDXV30 134   0,16   0,12%
  • IDXQ30 149   1,66   1,12%

Gibran Angkat Isu Greenflation, Pakar TKN Jelaskan Dampak Negatif Jika Tidak Diurusi


Senin, 22 Januari 2024 / 19:01 WIB
Gibran Angkat Isu Greenflation, Pakar TKN Jelaskan Dampak Negatif Jika Tidak Diurusi
ILUSTRASI. Cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka menyampaikan pandangannya saat Debat Keempat Pilpres 2024 di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Minggu (21/1/2024). Debat Keempat Pilpres 2024 mengangkat tema terkait pembangunan berkelanjutan, sumber daya alam, lingkungan hidup, energi, pangan, agraria, masyarakat adat dan desa. ANTARA FOTO//M Risyal Hidayat/tom.


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam debat Cawapres yang baru saja diselenggarakan pada 21 Januari 2024 di JCC Senayan, Jakarta, topik greenflation mendapat sorotan khusus.

Calon Wakil Presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming, mempertanyakan cara mengatasi greenflation kepada Mahfud MD, namun merasa tidak mendapatkan jawaban yang diharapkan.

Tanggapan ini mengundang perhatian dari Dradjad Wibowo, anggota Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran dan pakar ekonomi senior dari INDEF.

“Bagaimana cara mengatasi greenflation?” tanya Gibran Rakabuming kepada Mahfud MD.

Baca Juga: Gibran Tanyakan soal Greenflation ke Mahfud MD, Apa Arti Greenflation

Dradjad Wibowo menekankan bahwa greenflation bukanlah konsep yang sederhana. Istilah ini merujuk pada peningkatan harga yang terjadi akibat biaya mahal dalam transisi ke ekonomi hijau.

Ini merupakan salah satu bentuk inflasi dorongan biaya atau cost-push inflation, yang sering menjadi pembahasan di kalangan ilmuwan, aktivis, pebisnis, dan politikus yang fokus pada keberlanjutan.

Indonesia, yang memiliki potensi panas bumi kedua terbesar di dunia, hanya memanfaatkan sekitar 9,8% dari potensinya.

Menurut Dradjad, salah satu kendala utamanya adalah biaya produksi listrik tenaga panas bumi yang signifikan lebih mahal dibanding PLTU batubara.

"Kendala utama adalah biaya produksi listrik tenaga panas bumi yang 50% lebih mahal dibanding PLTU batu bara, bahkan bisa dua kali lipat lebih mahal dalam beberapa estimasi," jelas Drajad dalam keterangannya, Senin (22/1).

Baca Juga: Apa Arti Greenflation? Pengertian hingga Cara Memitigasi Inflasi Hijau

Peralihan sepenuhnya dari PLTU batu bara ke PLTP dengan biaya saat ini akan meningkatkan biaya listrik nasional minimal 50%.

Ini akan berdampak luas pada inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dengan kenaikan harga yang drastis.

Greenflation juga dapat menyebabkan dampak negatif serupa dengan inflasi biasa, termasuk potensi konflik sosial dan peningkatan ketimpangan.

Transisi energi di Indonesia yang dilakukan secara radikal berpotensi menyebabkan kenaikan tarif listrik, pajak kendaraan bermotor yang tinggi, atau kenaikan harga barang akibat pajak karbon.

Masyarakat berpenghasilan rendah menjadi kelompok yang paling terdampak oleh greenflation. Upah mereka yang tidak sebanding dengan tingkat inflasi, serta kecenderungan menyimpan tabungan dalam bentuk tunai, berbeda dengan keluarga yang lebih kaya, membuat daya beli mereka menurun secara signifikan.

Baca Juga: Survei Charta Politika: Prabowo - Gibran Hanya Kalah di Jateng dan DIY

Debat ini menyoroti pentingnya pendekatan yang bijaksana dan bertahap dalam transisi energi, untuk menghindari dampak negatif yang luas dari greenflation.

Kepemimpinan yang inovatif dan penuh pertimbangan dari tokoh seperti Gibran Rakabuming dalam tim Prabowo-Gibran menjadi kunci dalam navigasi kompleksitas ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×