kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Gejolak ekonomi China menghantui Indonesia


Kamis, 09 Juli 2015 / 10:42 WIB
Gejolak ekonomi China menghantui Indonesia


Reporter: Adinda Ade Mustami, Asep Munazat Zatnika, Margareta Engge Kharismawati | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Ekonomi Indonesia kembali mendapat cobaan. Kali ini, datangnya dari Tionglok. Adalah, pasar saham China yang mengalami koreksi tajam belakangan ini.  Setelah menggelembung atau bubble, pasar saham China mulai  memecah dengan terjadinya koreksi yang cukup dalam. Kondisi ini diperburuk adanya eksposure pemerintah China pada surat utang Yunani yang gagal bayar (default).

Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan, ekonomi China sangat dekat dengan Indonesia. Risiko yang menimpa China lebih tinggi dampaknya dibanding krisis finansial di negeri para dewa, Yunani. Saat ini, kondisi yang terjadi di China efeknya bukan hanya akan menimpa pasar keuangan, namun juga perdagangan Indonesia.

Agus bilang, saat ini pasar saham China sedang terkoreksi. Dalam satu bulan terakhir, pasar saham Tiongkok terkoreksi hingga 30%. "Kita harus antisipasi karena China menjadi pusat bagi pertumbuhan regional dan dunia," ujarnya, Rabu (8/7).

Jika koreksi pasar modal China terus terjadi dan cukup tajam, lanjut Agus, dampaknya berantai. Dampak yang langsung terasa adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Sebab itu, Agus mengingatkan, dalam kondisi seperti ini, Indonesia harus menjaga fundamental ekonomi. Inflasi yang terkendali dan defisit transaksi berjalan lebih sehat  ke arah 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) harus terus dipantau. "Daya tahan ekonomi Indonesia harus dijaga," imbuh Agus.

Ekspor bisa makin drop

Kekhawatiran Agus tak berlebihan. China adalah negara tujuan ekspor keempat Indonesia setelah AS, India, dan Jepang. Sebab itu, BI telah merevisi proyeksi penurunan pertumbuhan ekspor Indonesia tahun ini lebih dalam dari 11% menjadi 14%.

Berdasarkan data Badan Pusat Statitik (BPS), ekspor pada 2014 tercatat sebesar US$ 176,29 miliar atau menurun 3,43% dibanding periode yang sama 2013. Jadi, jika BI memperkirakan ekspor drop hingga 14%, berarti tahun ini kumulatif nilai ekspor Indonesia Januari-Desember 2015 hanya US$ 151,61 miliar.

Salah satu penyebab kinerja ekspor yang lebih buruk ini diakibatkan perekonomian China melemah. BI memperkirakan ekonomi China hanya tumbuh 7,1% di 2015.

Sasmito Hadi Wibowo, Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa BPS mengakui, tren pelambatan ekonomi China telah berdampak  terhadap ekspor Indonesia di tahun ini. Sasmito bilang, dengan gejolak ekonomi di China saat ini, ekspor Indonesia bisa semakin turun lebih dalam.

Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih berpendapat, nilai tukar rupiah masih rentan tekanan eksternal. Kondisi ekonomi Yunani dan China yang dikhawatirkan mengalami krisis, menjadi persoalan yang bakal menekan rupiah.

Namun, Ekonom Bank BCA David Sumual menilai, anjloknya indeks saham China tidak berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Alasannya, kondisi itu belum berdampak kepada sektor riil China. Jadi, dampaknya belum akan dialami Indonesia.

Lagi pula, pasar keuangan China belum terlalu terbuka. Selain itu, pasar bursa China tidak sebesar bursa AS.  Menurut David, jebloknya pasar saham China lebih disebabkan faktor bubble di sektor keuangan. Pemicunya, pemerintah China melakukan intervensi untuk menstabilkan harga saham. Sebab, indeks saham China selalu naik berlipat beberapa tahun terakhir.

Kepala Ekonom Bank Dunia (World Bank) untuk Indonesia, Ndiame Diop juga bilang jatuhnya harga saham China belum berdampak terhadap ekonomi China.  Sebab, hingga kini sektor riil di negara tirai bambu tak terpengaruh.

Diop juga menilai jatuhnya saham di China belum mempengaruhi pertumbuhan ekonomi global,  meskipun  China merupakan mitra dagang terbesar Amerika Serikat (AS) dan Eropa.                             

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×