Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kondisi hampir mirip pertengahan tahun 2013 terjadi lagi. Nilai tukar rupiah yang kemarin bergerak menguat kencang, tiba-tiba hari ini merosot. Kondisi itu juga terjadi di pertengahan tahun lalu.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) padaa hari ini, Kamis (20/3) nilai tukar rupiah berada di level Rp 11.407 per Dollar AS.
Pemicunya juga sama, yaitu pengumuman Bank Sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (Fed) yang bakal mengurangi dana stimulusnya sebesar US$ 10 juta dolar setiap bulnnya.
Yang membedakan, kali ini The Fed tidak cuma itu. Sebab The Fed juga memberikan signal akan menaikkan suku bunga acuannya tahun depan.
Ekonom Bank Interntional Indonesia (BII) Juniman melihat, hal ini membuktikan kalau fundamental Indonesia masih rapuh. Selain itu, pelemahan yang cepat ini juga menunjukkan kalau penguatan yang terjadi akhir-akhir ini lebih disebabkan pelemahan nilai tukar Dollar AS, dan karena faktor sentimen lokal saja.
Tetapi, permasalahan utamanya belum terselesaikan, yaitu defisit neraca transaksi berjalan alias current account deficits (CAD). Memang beberapa bulan terakhir, CAD mengalami perbaikan, begitupun dengan neraca perdagangan. "Tapi itu bukan karena perbaikan secara struktural," ujar Juniman.
Dengan kondisi itu, mata ung garuda berpotensi untuk berbalik arah. Setidaknya, hingga akhir kuartal pertama. Apalagi beban utang luar negeri swasta cukup besar, ditambah kewajiban membayar dividen yang harus diselesaikan setiap kuartal. Juniman memperkirakan, rupiah akan bergerak hingga level 11.500 pada kuartal pertama.
Ekonom Samual Asset Manajement, Lana Soelistyaningsih menambahkan, jika pemerintah tidak buru-buru mengambil tindakan, rupiah bisa merosot lebih dalam. Sebab, beberapa bulan kedepan akan menghadapi buln Ramadhan, dan hari raya Lebaran.
Nah, beberapa bulan sebelum Lebaran, biasanya pengusaha sudah bersiap-siap dengan mengimpor bahan baku. Dengan begitu, diperkirakan dalam beberapa bulan ke depan nilai impor bisa membengkak. Kondisi itu diperparah dengan ekspor yang kemungkinan turun karena kebijakan pelarangan ekspor menieral mentah.
Akibatnya, defisit neraca transaksi berjalan kemungkinan bisa melebar. "Yang paling ditakutkan dari kondisi ini adalah Bank Indonesia menaikan suku bunganya," ujar Lana.
Menurutnya, sebelum mengambil keputusan menaikan suku bunga lebih baik pemerintah bergerak cepat. Salah satu hal yang paling mungkin dilakukan pemerintah adalah dengan merilis paket kebijkn ekonomi ke tiga.
Jika paket kebijakan segera dikeluarkan, maka bisa sedikit menahan dampak negatif isu fundamental global. Apalagi, paket kebijakan yang dikeluarkan nantinya, berhasil meyakinkan pasar bisa memperbaiki masalah struktural.
Lana memperkirakan rupiah akan bergarak dalam range Rp 11.300-11.500 per dollar AS hingga akhir kuartal pertama. Kalaupun tidak ada fundamental baik dari dalam negeri, rupiah paling dalam akan terperosok ke angka Rp 11.600 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News