Reporter: Agung Jatmiko, Herry Prasetyo, Tedy Gumilar | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Sejauh ini upaya Bank Indonesia (BI) menjaga stabilitas nilai tukar rupiah patut diapresiasi. Berbagai upaya yang telah dilakukan bank sentral berhasil menahan gerakan kurs yang naik turun terlalu tajam. Betul, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tahun lalu melemah cukup tajam. Per 2 Januari 2013 kurs tengah BI berada di Rp 9.685 per dollar AS (USD). Saat tutup tahun 2013, USD/IDR tersangkut di posisi Rp 12.189 per dollar AS. Nah, tahun ini nilai tukar rupiah mulai membaik. Per 13 Maret 2013, USD/IDR ada di posisi Rp 11.387.
Kondisi ini tak lepas dari neraca perdagangan Indonesia yang terus membaik, meski masih mencatatkan defisit. Cuma, Director Chief Economist Bank Mandiri Destry Damayanti menilai, soal neraca dagang, urusannya ada di sisi fiskal. Artinya, tanggung-jawab berada di pemerintah. “Soal BI sendiri, pasar sebenarnya cukup confidence,” kata Destry.
Di sisi BI sebagai penjaga moneter, sejumlah kebijakan yang ditelurkan bank sentral mampu menebalkan rasa percaya diri pelaku pasar keuangan. Toh, BI masih perlu memperbaiki sisi implementasinya.
Salah satu yang masih hangat dalam ingatan adalah penandatanganan bilateral currency swap arrangement (BCSA) dengan Bank of Korea (BOK), 6 Maret 2014. Nilai uang yang di-swap sebanyak Rp 115 triliun atau 10,7 triliun won Korea, setara dengan US$ 10 miliar. BCSA yang berlaku tiga tahun dan bisa diperpanjang ini merupakan kelanjutan kesepakatan BI dan BOK pada 12 Oktober 2013 lalu.
Langkah ini penting dilakukan lantaran Negeri Ginseng merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Di sisi ekspor, Korea merupakan negara tujuan ekspor terbesar keenam setelah Jepang, China, Amerika Serikat, Singapura, dan India.
Sedangkan di sisi impor, Korea merupakan negara kelima yang memasok barang ke Indonesia. Nah, catatan BI, total impor Indonesia dari Korea selama 2013 mencapai US$ 11,6 miliar. Namun, yang menggunakan mata uang won cuma setara US$ 5,9 juta.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menilai, kebijakan ini sangat positif untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS dalam perdagangan kedua negara. Dengan begitu, cadangan devisa lebih terjaga dan tidak “terbuang sia-sia”.
Masalahnya, belajar dari pengalaman serupa dengan China, BCSA belum mampu menekan permintaan terhadap dollar AS di pasar.
Sebagai informasi, pada 23 Maret 2009 BI dan People’s Bank of China (PBOC) menandatangani BCSA senilai 100 miliar yuan, atau setara Rp 175 triliun. Di masa kepemimpinan Gubernur BI Agus Martowardojo, perjanjian ini diperpanjang untuk masa tiga tahun pada 1 Oktober 2013.
Minim digunakan
Nah, setelah hampir lima tahun berselang, penggunaan USD dalam transaksi Indonesia–China nyatanya tidak berhasil ditekan. Sepanjang 2013, nilai impor Indonesia dari China mencapai US$ 29,57 miliar. Menurut Tirta, mata uang yuan yang digunakan dalam impor Indonesia dari China baru sekitar 2%.
Dari sisi bank komersial, secara teknis sebetulnya tidak ada masalah dalam menjalankan kebijakan ini. Bank yang memberikan swap kepada nasabahnya dapat melakukan re-swap ke BI dengan underlying atau dasar transaksi dari nasabahnya itu. Sementara, dari sisi likuiditas, juga tak ada masalah. “Kalau BI perlu yuan atau won, ya, tinggal kita swap dengan PBOC atau BOK,” kata Tirta.
Namun, menurut Lana, salah satu masalah yang belum bisa dibenahi adalah soal sosialisasi kepada eksportir dan importir. Selain itu, minat perusahaan memegang USD masih tinggi. Pasalnya, cukup banyak perusahaan yang mengekspor barang jadi ke Korea, namun mesti mengimpor bahan baku dari negara di luar Korea. “Ada keraguan karena ada potensi rugi kurs yang harus ditanggung pengusaha,” kata Lana.
BI mengakui, BCSA dengan PBOC memang belum banyak dimanfaatkan oleh pengusaha. Untuk itu, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara berjanji, BI akan melakukan sosialisasi secara khusus kepada para pengusaha Korea dan China maupun pengusaha domestik yang berdagang dengan China dan Korea.
Penyebab lainnya, selain BCSA, Pemerintah China juga menyediakan fasilitas sejenis untuk pelaku pasar. “Mungkin ini yang saat ini digunakan oleh pengusaha,” kata Tirta.
Tirta tidak menyebut secara spesifik apa kebijakan PBOC yang dimaksud. Yang jelas, beberapa bank di Indonesia memang telah memiliki layanan transaksi menggunakan renminbi.
Direktur Keuangan Bank BRI Achmad Baiquni menyebut, sejak 2009 mereka sudah membuka layanan ini. “Jadi, kami memfasilitasi transaksi eksportir dan importir kita dengan China yang menggunakan letter of credit (LC) renminbi,” kata Baiquni.
Fasilitas transaksi menggunakan renminbi itu masih berjalan hingga sekarang. Sayang, Baiquni tak hafal persis berapa nilainya. Yang jelas, “Cukup signifikan untuk mengurangi permintaan dollar,” katanya.
Meski masih memiliki pekerjaan rumah untuk membuat BCSA dengan China dan Korea lebih bertaji, BI rupanya mengantongi rencana untuk menjajaki kerjasama serupa dengan negara lain. Maklum, BCSA merupakan garis pertahanan kedua bagi rupiah jika sewaktu-waktu terjadi pemburukan, misalnya akibat kebijakan tapering di Amerika Serikat. Adapun cadangan devisa tetap menjadi first line of defence.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung bilang, sebenarnya saat ini BI juga sedang dalam tahap negosiasi dengan beberapa negara. Cuma, karena belum mencapai kesepakatan final, sampai saat ini ia tidak bersedia menyebut identitas negara yang dia maksud. “Ada beberapa negara Asia dan non-asia,” tukasnya.
Poles lelang valas
Selain menjaga agar aliran USD keluar negeri lebih minimal lewat BCSA, BI juga terus menambah cadangan devisa sekaligus memperkuat posisi rupiah. Ibarat pepatah, bank sentral memilih menyediakan payung sebelum jatuh hujan.
Sejak 5 Juli 2013 silam, bank sentral sudah memiliki amunisi berupa lelang foreign exchange (forex/valas) swap. Dasarnya, Surat Edaran No. 15/24/DPM tanggal 5 Juli 2013 Perihal Perubahan Kelima Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 12/18/DPM Perihal Operasi Pasar Terbuka.
Jika dirunut ke belakang, lelang valas swap adalah buntut dari kebijakan pencatatan devisa hasil ekspor di bank nasional yang telah diterbitkan BI sebelumnya. Agar lebih bertaji, BI kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/17/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha Bank berupa Penitipan dengan Pengelolaan.
Beberapa bank BUMN seperti Mandiri, BRI, dan BNI ditunjuk sebagai pengelola devisa hasil ekspor. Mereka berharap stok dollar yang selama ini berasal dari dana asing jangka pendek (hot money) bisa diganti dengan devisa hasil ekspor.
Nah, pada lelang perdana 18 Juli 2013, BI berhasil meraup dana US$ 600 juta dari target US$ 500 juta. Jumlah penawaran yang masuk kala itu sebesar US$ 1,24 miliar.
Tirta menyebut, lelang valas swap masih rutin digelar bank sentral, paling tidak seminggu sekali. Ada tiga tenor yang ditawarkan; satu bulan, tiga bulan, dan enam bulan.
Teranyar, BI meluncurkan lelang valas swap bertenor satu tahun. Yang menarik, peminat instrumen ini tidak memerlukan underlying. “Peminatnya sebagian besar di tenor satu bulan dan tiga bulan, beberapa di enam bulan. Sementara, untuk yang tenor satu tahun masih kecil angkanya,” ujarnya.
Cuma, kata Lana, sejak November 2013, BI memang tidak lagi mengumumkan lelang tersebut secara terbuka, termasuk target dan lelang yang dimenangkan. “Saya setuju itu tidak diumumkan karena bisa dimanfaatkan oleh spekulan,” ujar Lana.
Ambil contoh, jika BI mengumumkan lelang valas swap US$ 1 miliar bertenor tiga bulan, maka spekulan akan mengetahui dalam tiga bulan ke depan BI akan membutuhkan dana US$ 1 miliar. Spekulan bisa mengambil posisi sebagai lawan di saat BI sedang mencari dana tersebut di pasar.
Nah, Lana menunjuk, cadangan devisa di akhir tahun 2013 sebesar US$ 99,39 miliar tak lepas dari hasil lelang valas swap. Dibanding dengan posisi per 30 Januari 2013 yang US$ 100,65 miliar, memang ada penurunan. Tapi, mesti diingat, sepanjang tahun lalu, bank sentral tergolong rajin mengintervensi pasar agar depresiasi rupiah tidak terlalu tajam.
Selain itu, posisinya memang masih tergolong aman lantaran bisa mencukupi kebutuhan 5,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Sebagai catatan, secara internasional, cadangan devisa masih disebut aman jika bisa mencukupi kebutuhan 3 bulan impor dan pembayaran utang pemerintah.
Cadangan devisa aman
Kini, posisi cadangan devisa sudah jauh lebih baik. Per 28 Februari 2014, nilainya mencapai US$ 102,74 miliar, naik US$ 2,09 miliar dari posisi akhir Januari 2014 sebesar US$100,65 miliar. “Cadangan devisa kita aman karena itu bisa membiayai 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah,” ujar Juda.
Meski belakangan mata uang garuda mulai bertaji, Juda menyebut BI masih tetap menjalankan kebijakan moneter yang cenderung ketat. “Kami melihat kondisi eksternal dari AS maupun dari domestik, risiko inflasi masih ada,” katanya.
Dari domestik, risiko inflasi masih cukup tinggi terutama dari sisi administered price alias inflasi komponen harga yang diatur pemerintah. Pemerintah dan DPR telah sepakat menaikkan tarif tenaga listrik (TTL) mulai Mei 2014 secara bertahap.
Kenaikan TTL industri akan berdampak ke inflasi 0,23%. Sedangkan, kenaikan tarif listrik rumahtangga dengan daya diatas 6.600 VA dampaknya 0,04%. Kata Juda, kebijakan penaikan tarif listrik sudah masuk dalam asumsi inflasi 4,5% +-1% hingga akhir 2014 yang telah dipatok Bank Indonesia.
Semoga tidak ada kejadian yang aneh-aneh, ya.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 25 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News