Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tahun lalu, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) menilai program biodiesel Indonesia akan menghemat APBN, karena dapat menjadi alternatif untuk mencukupi kebutuhan konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia.
Akan tetapi, Ekonom Faisal Basri menjelaskan bahwa penggunaan biodiesel tidak terbukti dalam penghematan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Menurutnya kebijakan ini hanya mengulang kebijakan subsidi solar, yang ongkos keekonomiannya sangat tinggi.
“Harga ongkos keekonomiannya itu lebih tinggi, oleh karena itu kalau dulu kita menyubsidi fosil, sekarang menyubsidi biodiesel, mensubsidi pengusaha biodiesel. Jadi pindah subsidinya,” kata Faisal dalam diskusi Kekuatan Oligarki dan Orang Kuat dalam Bisnis Biodiesel, Senin (31/1).
Ia menambahkan, bahwa tujuan dari penggunaan biodiesel adalah untuk memperbaiki transaksi perdagangan dengan mengurangi impor solar, sehingga neraca perdagangan membaik, tetapi kebijakan ini dinilai salah karena akan membuat ekspor CPO turun.
Baca Juga: Ekspor Batubara Dibuka Lagi per 1 Februari, Cermati Sanksi & Denda Baru Pelanggar DMO
“Tujuan penggunaan biodiesel untuk memperbaiki transaksi perdagangan dengan mengurangi impor solar, sehingga neraca perdagangannya membaik. Kebijakan ini salah, karena pengurangan impor solar dengan digantikan dengan biodiesel maka ekspor CPO juga turun. Seharusnya dampaknya ini perlu dihitung,” jelasnya
Faisal juga menyebut bahwa pengusaha bisnis biodiesel dijamin tidak pernah rugi. Karena ketika harga sawit naik, komponen dari biofuel-nya juga ikut naik, dan pengusaha biodiesel akan mendapatkan dana sawit agar mereka tidak merugi. Bahkan, menurutnya sebelum pandemi Covid-19, pengusaha biodiesel juga mendapatkan subsidi dalam program PEN, dari APBN sebesar Rp 2,67 triliun.
Selain itu, Faisal juga mempersoalkan klaim pengusaha yang menilai dana yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) merupakan dana dari pengusaha sawit lewat potongan ekspor dan harus dikelola pengusaha.
Menurut Faisal, klaim tersebut sesuatu yang sangat keblinger, karena seolah-olah ada negara di dalam negara. Lanjutnya, sebanyak 40 persen dari dana sawit itu justru dari sawit rakyat, oleh karena menurutnya harus ada keterwakilan petani secara resmi dalam struktur BPDPKS, untuk mengarahkan kepada program peremajaan sawit dan program lainnya.
Baca Juga: Vale Indonesia (INCO) Rela Mengurangi Keuntungan Demi Penggunaan Energi Bersih
Saat ini, pemerintah dinilai belum peka terhadap keberpihakannya pada sektor sawit yang terdapat jutaan rakyat di dalamnya, di mana setiap ekspor sawit terdapat kebijakan pungutan ekspor dan juga pajak ekspor dalam UU Bea Cukai, dimana kebijakan pajak ekspor ini merugikan petani karena pengekspor tidak mau labanya turun, semakin tinggi pajak ekspor semakin turun harga sawit di tingkat petani karena struktur pasarnya oligopoly.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News