Sumber: TribunNews.com | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Faisal Basri menyayangkan keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Pertamina.
Menurut Faisal, PP yang menjadi landasan hukum dialihkannya saham PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk atau PGN kepada PT Pertamina (Persero), justru akan membuat pekerjaan rumah Pertamina semakin berat.
Menurut staf pengajar di Universitas Indonesia (UI) tersebut, tugas Pertamina yang utama adalah menekan jumlah impor minyak mentah maupun Bahan Bakar Minyak (BBM) yang saat ini jumlahnya mencapai 734 ribu barel per hari (bph).
Caranya adalah dengan terus mencari cadangan dan menambah produksi dari lapangan minyak yang baru untuk diolah menjadi BBM demi memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pasalnya, dengan terus-menerus melakukan impor minyak maka defisit perdagangan Indonesia menjadi naik.
"Sepanjang 2017, defisit perdagangan minyak kita sebesar 14,7 miliar dolar AS. Efeknya lari ke rupiah yang terus melemah, cadangan devisa yang tergerus, dan macam-macam. Jadi tugas Pertamina itu sudah sangat berat, dan di tengah tugas yang berat itu dia ditambahi pekerjaan mengambil PGN," tegas Faisal akhir pekan..
Faisal menilai, sebagai perusahaan publik sebenarnya PGN sudah berada di jalur yang benar karena menerapkan prinsip good governance dalam menjalankan operasinya. Pasalnya, kinerja keuangan PGN selalu diaudit dan selalu melaporkan rencana bisnis serta laporan keuangannya kepada Bursa Efek Indonesia.
"Mengapa PGN ini justru dibiarkan diambil oleh perusahaan non publik? Apa sih targetnya Menteri BUMN Rini Soemarno menggabungkan PGN dengan Pertamina itu? Hanya mau menjadikan Pertamina sebagai perusahaan kelas dunia dan masuk dalam Fortune 500? Itu tujuan yang semu, bukan tujuan dari keberadaan perusahaan negara," tegas Faisal.