Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali meningkatkan risiko bagi perekonomian di dalam negeri. Khususnya ekspor Indonesia berpotensi tertekan pelemahan ekonomi China. Seperti diketahui, China merupakan salah satu tujuan ekspor terbesar Indonesia selama ini.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemkeu) Suahasil Nazara mengatakan, dari hasil kunjungannya ke pertemuan Spring Meeting IMF dan Bank Dunia pada April lalu, ia mendapat kesimpulan kalau risiko perlambatan ekonomi global akibat keberlanjutan perang dagang AS-China masih sangat terbuka.
"Di saat yang sama, ekspor Indonesia belum membaik. Terutama ekspor nonmigas yang trennya masih belum terlalu baik dalam empat bulan terakhir. Kita berusaha agar ekspor ini kembali membaik, neraca perdagangan dan transaksi berjalan juga bisa membaik," ujar Suahasil belum lama ini.
Sementara, Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Ahmad Mikail mengatakan, besar kemungkinan kinerja ekspor Indonesia akan semakin memburuk di tengah berlanjutnya perang dagang. Sebab, pertumbuhan ekonomi China berpotensi melambat melebihi prediksi yaitu 6,3% pada tahun ini.
"Dengan naiknya tarif AS ke China menjadi 25% kepada barang-barang yang nilainya mencapai US$ 200 miliar, saya perkirakan pertumbuhan ekonomi China sepanjang tahun ini bisa jadi hanya 6%," ujar Mikail, Minggu (12/5).
Dengan proyeksi tersebut, lanjutnya, otomatis tingkat permintaan China terhadap barang-barang Indonesia akan menurun signifikan, terutama komoditas batubara.
Sepanjang kuartal I-2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor bahan bakar mineral Indonesia yang mencakup batubara mengalami penurunan 9,26% yoy. Padahal, komoditas tersebut berperan 15,3% terhadap keseluruhan ekspor nasional.
"Selain energi, konsumsi China terhadap barang-barang lain seperti tekstil, peralatan mekanik, hingga alas kaki yang biasanya banyak diekspor oleh Indonesia juga akan berkurang," kata Mikail.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira memproyeksi hal serupa. Menurutnya, kinerja ekspor Indonesia pada tahun ini akan terus tertekan. Pasalnya, penurunan permintaan terhadap sejumlah komoditas ekspor utama Indonesia sudah terlihat sejak tahun lalu.
"Harga komoditas ekspor unggulan kita seperti sawit, batubara juga terus turun karena berkurangnya permintaan akibat perang dagang. Posisi Indonesia yang terbawah dalam rantai pasok di industri manufaktur global membuat permintaan bahan baku turun saat ada goncangan," terang Bhima, Minggu (12/5).
Kendati begitu, Bhima mengingatkan, bukan hanya kinerja ekspor yang akan makin melambat, melainkan juga impor yang makin meningkat. Sejak perang dagang berlangsung di awal tahun lalu, banyak negara yang terdampak mengalihkan kelebihan produksinya pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sepanjang tahun lalu, misalnya, Bhima mencatat impor Indonesia terhadap komoditas besi dan baja mengalami kenaikan hingga 20%. Padahal pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri saja tak sampai 5% atau masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi.
"Ini perlu diwaspadai karena barang-barang dari luar banyak masuk dengan skema dumping sehingga mengancam industri dalam negeri. Mulai dari besi dan baja, barang elektronik, hingga mainan anak," lanjut Bhima.
Adapun, Indonesia bukannya tak berdaya sama sekali di tengah risiko perang dagang yang meningkat. Bhima mengatakan, pemerintah mesti lebih gesit memanfaatkan potensi realokasi investasi dari perusahaan multinasional di berbagai negara yang mengincar negara berkembang dengan upah tenaga kerja yang lebih murah.
Artinya, Indonesia masih berpeluang menjadi negara basis ekspor selama mampu menjaga daya saing dengan negara berkembang lain seperti Vietnam atau Bangladesh.
Selanjutnya, pemerintah juga mesti lebih serius menggarap pasar-pasar non-tradisional di negara lain. "Ini mesti dipercepat dan setidaknya pertumbuhan ekspor ke negara-negara non-tradisional itu bisa mencapai 20% untuk meng-offset dampak perlambatan ekspor ke China dan AS," pungkas Bhima.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman juga menyampaikan, menghadapi kemungkinan perang dagang yang kembali terjadi, pemerintah sebaiknya perlu bersiap-siap.
"Melihat bahwa dua mitra utama perdagangan Indonesia saat ini akan terdampak dari perang dagang yang mereka lakukan, pemerintah sebaiknya bersiap-siap untuk mendukung industri manufaktur berbasis ekspor agar lebih kompetitif di pasar Internasional. Penguatan ini perlu dilakukan supaya dapat menangkap peluang dari perang dagang ini dengan menjadi alternatif pilihan bagi dua negara tersebut sebagai sumber pasokan barang mentah," tutur Ilman dalam keterangan pers yang dikutip Kontan, Minggu (12/5).
Dukungan ini, menurut Ilman, dapat dimulai dengan memberikan pelonggaran sementara atau permanen terhadap barang-barang yang masih menghadapi restriksi seperti bea ekspor agar harga barang ekspor di pasar internasional lebih kompetitif.
Namun perlu diingat, Indonesia mesti mendorong peningkatan nilai jual produk ekspor tersebut. Insentif bagi pelaku usaha untuk melakukan ekspor produk olahan yang memiliki nilai jual lebih tinggi untuk selanjutnya dapat diberikan melalui skema keringanan kewajiban seperti keringanan pajak, baik itu bersifat temporer maupun permanen.
Adapun pada akhirnya, Ilman menilai sulit untuk mengetahui kapan akhir dari perang dagang AS dan China. Mengingat Indonesia bergantung kepada dua negara ini sebagai mitra dagang utama.
Ia menyarankan, pemerintah perlu memastikan bahwa komoditas yang diekspor saat ini memiliki harga yang kompetitif di pasar internasional dan seterusnya juga secara konsisten mendorong peningkatan ekspor untuk produk dengan nilai jual yang lebih tinggi.
"Semua ini dapat dicapai dengan mendukung sektor manufaktur," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News