Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi covid-19 telah melanda Indonesia kurang lebih tujuh bulan sejak diumumkannya kasus positif covid-19 pertama pada awal Maret lalu.
Sejumlah pihak meminta pemerintah mengevaluasi penanganan covid-19. Masyarakat juga diharapkan mentaati protokol kesehatan.
Epidemiolog UGM Riris Andono Ahmad mendorong pemerintah harus memberikan edukasi protokol kesehatan yang lebih baik lagi. Ukurannya harus bisa membuat masyarakat menyadari bahaya penularan covid-19 dan kepatuhan melakukan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, mencuci tangan dan memakai masker.
“Pemakaian masker itu kan tujuannya mencegah penularan. Jadi tidak semata – mata orang itu memakai masker atau tidak, tapi seberapa besar ketika tidak memakai masker tertular atau menularkan,” kata Riris ketika dihubungi, Selasa (6/10).
Baca Juga: Sektor makanan minuman masih jadi penopang permintaan kemasan plastik
Riris mencontohkan, menyadarkan penggunaan masker tidak melulu pada penindakan atau denda yang dilakukan melalui operasi yustisi. Akan tetapi, memberikan pemahaman pentingnya penggunaan masker.
“Bagaimana masyarakat bisa sadar bahwa resiko tertular bukan tidak terkait dengan adanya operasi yustisi atau denda, tapi resiko tertular karena perilaku mereka sendiri yang tidak menggunakan masker,” ungkap dia.
Lebih dari itu, Riris menekankan pelaksanaan menjaga jarak (social distancing) akan menurunkan transmisi (penularan). Namun prblemnya adalah jika social distancing dilakukan terlalu ketat atau terlalu lama maka social ekonomi akan memburuk.
“Pemerintah harus punya indikator yang jelas kapan harus sedikit melonggarkan, kapan harus diketatkan dan itu harus dilakukan secara konsisten. Jadi memang kalau penularannya meningkat seharusnya mobilitasnya dihentikan lagi,” ujar dia.
Baca Juga: Bank bakal gencar menambah ATM setor tarik, ini alasannya
Riris mencontohkan, adanya klasifikasi zona penyebaran covid-19. Kebijakan ini harus dilaksanakan konsisten. Sebab yang terjadi masyarakat senang ketika daerahnya berubah dari zona kuning menjadi zona hijau.
“Tapi begitu naik lagi ke (zona) kuning, masyarakat, pemerintah akan denial (menyangkal) terhadap itu dan pemerintah tetap bertindak seperti halnya masih (zona) hijau dan tidak mau kemudian melakukan pengereman atau pengetatan social distancing,” ungkap dia.
Riris menyarankan, jika pemerintah menunggu vaksin maka harus dilakukan upaya menjaga agar transmisi penularannya tidak meningkat terus. Hal tersebut dilakukan agar penambahan kasus positif semakin sedikit.
“Penularan pasti akan terjadi tetapi adalah seberapa jauh kita bisa mengendalikan atau menurunkan penularan tersebut,” ucap dia.
Lebih lanjut, terkait penerapan jam malam di sejumlah daerah, Riris menilai kebijakan ini tidak berdampak besar untuk mengendalikan penularan covid-19. Ketimbang menerapkan jam malam, lebih baik proporsi orang bergerak yang harus dibatasi.
Baca Juga: Beijing bisa gerah, Pompeo peringatkan tentang aktivitas jahat China di Asia-Pasifik
Selain itu, Riris mengatakan, penerapan pembatasan sosial berskala mikro akan efektif jika penularannya sudah terkendali. Artinya penularannya tidak meluas di populasi.
Akan tetapi jika penularannya sudah meluas, positivity rate meningkat, tidak diketahui lagi siapa tertular siapa dan dimana tertularnya, maka itu indikasi penularan meluas.
Jika penularannya saja sudah meluas dan pergerakan dibatasi secara mikro, transmisi bisa tetap terjadi.
“Itu bisa dilakukan di awal – awal pandemi atau ketika kemudian kasus kasus penularan di masyarakat tidak meluas, baru masuk akal,” tutur Riris.
Selanjutnya: Danareksa Research Institute: Penurunan IKK dipengaruhi meningkatnya Covid-19
#satgascovid19 #ingatpesanibu #pakaimasker #jagajarak #jagajarakhindarikerumunan #cucitangan #cucitanganpakaisabun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News