Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
"Dalam kondisi saat ini saja, para tenaga kesehatan dan fasilitas kesehatan sudah kelimpungan menangani jumlah pasien Covid-19 yang terus bertambah," ujar Ketua Tim Mitigasi PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia), M. Adib Khumaidi, dalam keterangannya.
Dicky menambahkan, gas air mata dan semprotan merica aparat akan membuat pendemo "menangis". Hal ini menyebabkan hidung dan mulut akan mengeluarkan lendir dan memperburuk penyebaran virus. Mengingat, virus corona dapat menyebar melalui droplet atau tetesan dari mulut atau hidung.
"Gas air mata dapat terkumpul pada masker, sehingga tidak tahan untuk dipakai," tuturnya.
Baca Juga: UPDATE COVID-19: 38 Zona oranye berubah menjadi zona merah, simak daftarnya
Perhatian pembuat kebijakan Dicky menyampaikan, kejadian ini harus dijadikan pelajaran bagi pembuat kebijakan regulasi. Yakni sangat harus mempertimbangkan dan melakukan manajemen risiko dengan matang.
Manajemen risiko termasuk saat mengeluarkan produk kebijakan yang berpotensi menimbulkan reaksi massa yang berisiko memperburuk pandemi virus corona. "Karena situasi pandemi yang seperti ini jangan sampai keluar kebijakan yang menimbulkan pro kontra yang masif di masyarakat, yang akhirnya timbulan aksi-aksi demo seperti ini," tutur dia.
Ia menilai, penyebaran virus di situasi saat ini menjadi sangat sulit untuk bisa dikendalikan.
Baca Juga: Sedih, 693 jenazah dimakamkan dengan protokol Covid-19 selama dua pekan di Jakarta
Kendati begitu, Dicky menegaskan aksi demo tidak dapat menjadi satu-satunya yang disalahkan. "Dampak ini akan bersinergi dengan yang lain ya, tidak bisa hanya ditumpukkan atau disalahkan pada aksi demo saja," ujarnya.
"Karena ini akan berkontribusi dengan kontributor lainnya seperti rangkaian pilkada, pelonggaran-pelonggaran yang terjadi, ketidakpatuhan (terhadap protokol kesehatan), kelemahan testing dan tracing. Jadi enggak bisa hanya menyalahkan aksi demo saja," lanjut dia.