Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Perekonomian dalam negeri diperkirakan bisa terdampak jika pemerintah memangkas subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal Tahun 2025, pemerintah berencana melakukan efisiensi atau memangkas subsidi BBM sebesar Rp 67,1 triliun. Dalam dokumen tersebut, pemerintah mendorong dilakukannya pengendalian kategori konsumen untuk BBM jenis Pertalite dan Solar.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai, mekanisme pemangkasan subsidi BBM ini harus jelas. Apakah pemerintah akan memangkas subsidi energinya saja, atau dengan kompensasi.
Hal ini karena subsidi BBM di APBN hanya diberikan kepada dua jenis, yakni Solar dan minyak tanah. Sementara itu, BBM jenis Pertalite masuk dalam tagihan kompensasi.
“Kalau konteksnya subsidi sebenarnya masih memungkinkan untuk di manage, tapi kalau kompensasi yang agak berat. Pertalite kan masuk dalam kompensasi dan ini anggarannya cukup besar dan tidak ada dalam asumsi makro,” tutur Komaidi kepada Kontan, Senin (27/5).
Baca Juga: Soal Rencana Pemangkasan Subsidi BBM, Ini Kata Sri Mulyani
Untuk diketahui, kuota penyaluran Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) yakni Pertalite (RON 90) pada 2024 ini ditetapkan sebesar 31,7 juta kilo liter. Sementara kuota Solar subsidi ditetapkan 17,8 juta kilo liter. Artinya kebutuhan Pertalite mencapai dua kali lipat dari Solar.
Alhasil, Komaidi menilai, jika pemangkasan subsidi BBM yang dikurangi adalah BBM Solar, makan dampaknya terhadap gejolak di masyarakat tidak akan besar. Menurutnya, dampak pemangkasan BBM Solar hanya akan berpengaruh kepada industri dan niaga.
“Kalaupun ada keluhan handle-nya lebih mudah karena penggunanya kan asosiasi dan industri angkutan barang dan jasa. Jadi dampaknya bisa lebih mudah di handle pemerintah,” ungkapnya.
Namun, jika pemangkasan subsidi dilakukan pada kompensasi yakni Pertalite, Komaidi memperkirakan, dampaknya akan terasa sangat besar, karena konsumsinya paling banyak digunakan oleh masyarakat umum.
“Kalau kompensasi kan melibatkan sebagian besar konsumen dan masyarakat secara langsung, jadi mesti diwaspadai,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto berharap, pemangkasan subsidi BBM tersebut harus dilakukan secara hati-hati dan bertahap.
“Sebab, (pemangkasan) Rp 61,7 triliun saya rasa dampak ke perlambatan ekonomi cukup besar, karena BBM ini merupakan salah satu sumber energi paling banyak dikonsumsi masyarakat,” kata Eko.
Ia menyebut, risiko pemangkasan subsidi ini akan berdampak besar pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, karena jumlah konsumsi BBM akan menurun.
Disisi lain, opsi untuk mendorong konsumsi kendaraan listrik juga tampaknya belum bisa dilakukan, mengingat infrastruktur pengisi daya kendaraan listrik masih belum memadai.
“Selain itu, opsi beralih ke kendaraan listrik tahun depan juga masih terbatas karena kita lihat daya beli masyarakat tertekan,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News