Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lembaga pemeringkat internasional Standard And Poor's (S&P) berpeluang meningkatkan kembali peringkat utang Indonesia, setelah menaikan peringkat menjadi layak investasi, dari BB+ menjadi BBB- di akhir Mei 2017. Hal ini dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhur Binsar Panjaitan.
Namun demikian, Kepala Ekonom SKHA Institute for Institute for Global Competitiveness Eric Sugandi menilai, S&P masih akan memperhatikan kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini. Khususnya, manajemen defisit anggaran.
Sebab menurutnya, realisasi penerimaan saat ini masih jauh dari target dalam APBN-P.
"Sampai saat ini masih ada concern soal penerimaan yang masih jauh dari target. Walaupun saya yakin bahwa defisit APBN-P 2017 bisa ditekan sehingga tidak melebihi target pemerintah di 2,92% dari PDB nominal," kata Eric, Jumat (20/10).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), realisasi penerimaan negara hingga akhir September mencapai 63,3% dari target dalam APBN-P 2017 sebesar Rp 1.736,1 triliun, atau Rp 1.098,95 triliun. Jumlah itu naik 1,58% year on year (YoY).
Dari angka itu, realisasi penerimaan pajak baru mencapai 60% dari target atau sebesar Rp 770,7 triliun. Sementara realisasi penerimaan bea dan cukai baru mencapai 55,11% dari target atau sebesar Rp 104,24 triliun.
Sementara realisasi belanja hingga akhir bulan lalu mencapai 64,5% dari target dalam APBN-P 2017 sebesar Rp 2.133,3 triliun atau Rp 1.375,98 triliun. Sehingga realisasi defisit anggarannya mencapai 2,03% dari PDB atau Rp 277,03 triliun.
Eric bilang, pemerintah kemungkinan memotong anggaran belanja untuk menjaga defisit anggaran tahun ini.
Ia juga mengatakan, S&P akan melihat permasalahan lainnya di Indonesia yang menjadi pertimbangan penilaian lembaga pemeringkat internasional tersebut. Yaitu masalah reformasi birokrasi dan perizinan.
Di sisi lain, Eric memandang, fundamental ekonomi Indonesia tidak terlalu buruk, meski pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5%. "Tetapi indikator makro lainnya seperti inflasi dan defisit transaksi berjalan (CAD) masih terkendali. Cadangan devisa juga cukup untuk menjaga rupiah," tambahnya.
Yang jelas, jika nantinya S&P menaikkan kembali peringkat utang Indonesia, hal itu akan berdampak positif terhadap pasar obligasi. Yaitu, tingkat imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) bisa kembali turun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News