Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aksi boikot terhadap produk-produk yang diduga pro Israel menjadi bola liar yang perlu dikaji lagi. Selain rawan salah sasaran, pemerintah Indonesia disarankan mulai antisipasi kemungkinan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari perusahaan-perusahaan pemilik produk atau merek yang terkena dampak negatif.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan, aksi boikot terhadap produk yang diduga terafiliasi dengan Israel memang memiliki dua sisi.
“Satu sisi saya melihat aksi boikot ini gerakan moral yang harapannya memaksimalkan atau mengefektifkan tekanan terhadap Israel,” Faisal dalam keterangannya, Selasa (12/12).
Baca Juga: Kadin: Aksi Boikot Mulai Merugikan Keberlangsungan Dunia Usaha
Pada saat yang sama, di sisi lain, aksi ini juga berdampak terhadap perekonomian yang dalam hal ini adalah perekonomian Indonesia. “Kita mesti meminimalkan dampak terhadap ekonomi Indonesia sendiri,” terusnya.
Hal ini perlu disikapi serius terlebih daftar produk atau merek yang beredar untuk diboikot belum tentu benar-benar sesuai dugaan yaitu terafiliasi dengan Israel.
“Karena kita tahu, list produknya berasal dari medsos yang bisa jadi kebenarannya tidak valid,” Faisal mengingatkan.
Salah sasaran atas aksi boikot akan mengurangi makna solidaritas terhadap Palestina dan tekanan kepada Israel.
Lebih memprihatinkan lagi karena ternyata dampak aksi boikot ini telah nyata terhadap pengurangan produksi dan penjualan dari produk-produk serta merek yang sejauh ini telah menjadi sasaran. “Terhadap produk jadi sasaran boikot, memang ada dampaknya.”
Baca Juga: Soal Gerakan Boikot Produk Pro Israel, Begini Tanggapan Zulhas
Maka Faisal menyarankan Pemerintah perlu mengantisipasi khusus. Meskipun dengan program yang sudah ada.
“Misalnya terjadi PHK gara-gara penurunan permintaan, ini kan sebetulnya pada saat pandemi sudah ada program-program untuk menolong mereka yang terkena PHK. Ini bisa jadi consider kalau dampaknya meluas,” sarannya.
Dampak terhadap ketenagakerjaan itu lah, menurut Faisal, menjadi salah satu hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah saat ini. Perlu diantisipasi secara lebih dini seiring dengan dampak nyata yang terjadi dari aksi boikot ini.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyampaikan hal yang sama.
“Iya produk FMCG (Fast Moving Consumer Goods) memang cukup terkena dampak mengingat produk-produk ini lekat dengan keseharian masyarakat Indonesia dan perputarannya cepat,” ungkapnya.
Sehingga, kata Eko, begitu aksi boikot dijalankan masyarakat maka dampaknya langsung terlihat pada penurunan pendapatan secara signifikan. “Berdasarkan beberapa informasi pengusaha, penurunan omzet bisa 30%,” ujarnya.
Baca Juga: Boikot Produk Pro Israel Meluas Di Arab & Afrika, Di Indonesia Juga Makin Masif
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) melaporkan penurunan untuk produk fast moving consumer goods (FMCG) mengalami penurunan sekitar 40 persen.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey membenarkan bahwa produk seperti susu bayi, susu anak, susu lansia dengan merek-merek tertentu yang disebarluaskan di media sosial untuk diboikot sudah mengalami penurunan omzet sedikitnya 20%.
“Ini tentunya kita tidak berharap menjadi keberlanjutan karena kita kan juga maunya menjaga keutuhan ekonomi,” katanya.
Roy meyakini aksi boikot ini bisa berdampak terhadap angka pertumbuhan ekonomi kuartal III 2023. Dia memproyeksikan, laju ekonomi sepanjang tahun ini bisa di bawah lima persen.
“Kuartal III kita sudah turun jadi 4,9% padahal ketika kuartal II masih tumbuh 5,17%. Kemungkinan besar kuartal empat ini kita juga turun,” imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News