Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai penerapan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) akan memberi kontribusi tambahan terhadap penerimaan negara, sekaligus menjadi bagian dari strategi ekstensifikasi objek cukai.
Dalam RAPBN 2026 pemerintah sudah mematok target penerimaan cukai sebesar Rp 241,84 triliun dengan optimalisasi Cukai Hasil Tembakau (CHT), digitalisasi administrasi, dan perluasan objek cukai termasuk MBDK. Hal ini menurut Josua merupakan agenda pemerintah sebagai bagian dari strategi penerimaan yang juga kompatibel dengan agenda kesehatan (MBG/CKG).
“Karena Nota Keuangan tidak memisahkan target MBDK secara eksplisit, estimasi perlu didasarkan pada besaran pasar dan desain tarif,” kata Josua kepada Kontan, Senin (25/8/2025).
Baca Juga: Pemerintah dan DPR RI Sepakat Cukai Minuman Manis Berlaku Mulai Tahun 2026
Josua menyebut, tidak ada standar global tunggal dalam menentukan besaran tarif cukai MBDK. Namun, WHO (World Health Organizatio) dan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menilai sistem yang paling efektif adalah pajak berbasis kadar gula dengan tarif bertingkat. Desain tarif ini juga sudah banyak diadopsi negara di Asia dan Eropa.
Ia mencontohkan desain tarif berbasis kadar gula (sugar density) dengan skema bertingkat (multi-tier). Misalnya, ambang nol untuk kadar gula 4 gram per 100 ml, lalu tarif Rp 20–Rp 30 per gram gula tambahan untuk produk dengan kadar 4–8 gram per 100 ml, dan Rp 40–Rp 50 per gram gula tambahan untuk produk dengan kadar di atas 8 gram per 100 ml.
Berdasarkan perhitungannya, pasar MBDK yang benar-benar masuk basis pajak diperkirakan mencapai Rp 10 miliar – Rp 12 miliar liter per tahun. Jika dirancang berbasis kadar gula dengan tarif ekuivalen Rp 1.000–Rp 2.500 per liter, potensi penerimaan kotor mencapai Rp 10 triliun–Rp 30 triliun.
Setelah dikurangi faktor reformulasi, substitusi, dan tingkat kepatuhan, Josua memperkirakan penerimaan bersih tahun pertama berada di kisaran Rp 10 triliun–Rp 18 triliun atau setara 4%–7% dari total target cukai 2026.
Baca Juga: Cukai MBDK Muncul Lagi Masuk Pembahasan dalam RAPBN 2026
Selain itu, ia menekankan pemungutan sebaiknya dilakukan di tingkat produsen dan importir, bukan di UMKM atau pedagang kecil. Cara ini lebih efisien, tidak menambah beban pedagang kecil, dan memudahkan pengawasan.
"Alasan kenapa pemungutan tidak dilakukan di pedagang kecil adalah karena cukai merupakan pajak atas produksi atau impor barang tertentu. Jika dipungut di level warung, akan ada jutaan titik pemungutan yang justru membuat biaya administrasi tinggi, rawan kebocoran, dan tidak efektif," ungkapnya.
Dengan rancangan yang gradual dan cakupan ketat, Josua memperkirakan kontribusi penerimaan MBDK akan terus meningkat pada tahun kedua dan ketiga implementasi.
Selanjutnya: Sejumlah Mata Uang Dunia Menguat, Dolar AS Loyo Terseret Prospek Suku Bunga The Fed
Menarik Dibaca: Memasuki Musim Hujan, KAI Sediakan Fasilitas Pengering Payung di 43 Stasiun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News