Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Institute Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa undang-undang cipta kerja yang baru saja disahkan di DPR RI kemarin belum bisa langsung menarik investasi.
Hal tersebut lantaran masih ada persoalan lain yang harus diselesaikan, dalam artian omnibus law dinilai hanya baru memberikan kemudahan berusaha.
"Penegakan hukum kontrak, masalah energi kemudian masalah komplain pembayaran pajak dan juga masalah perdagangan antar batas wilayah itu juga menjadi masalah yang tidak terselesaikan dengan omnibus law," jelas Tauhid saat dihubungi Kontan.co.id pada Selasa (6/10).
Terlebih lagi Tauhid menambahkan Indonesia masih memiliki persoalan mendasar yang belum selesai seperti masalah indeks persepsi korupsi yang tinggi, kemudian infrastruktur yang terbatas sehingga biaya logistik kita mahal bahkan sekitar 24%, sampai tingginya suku bunga kredit untuk berusaha.
Baca Juga: PPh atas dividen hanya dipungut di level korporasi, simak penjelasan Ditjen Pajak
"Suku bunga kredit kita di atas 11% sampai 12% bayangkan China hanya 4%. itu gimana orang mau berusaha kalau bayar pinjaman aja mahal. Gimana kita mau berinvestasi kalau dalam negerinya nggak kondusif itu yang tidak terpecahkan dengan RUU Omnibus Law ini. Hanya sebagian kecil jadi saya nggak yakin bahwa dengan omnibus law terjadi peningkatan yang luar biasa [investasi] sumbangannya kecil, lantaran kita sudah positif pertumbuhan kita sebenarnya," terangnya.
Lebih lanjut, Tauhid menerangkan tren pertumbuhan investasi di Indonesia terutama Foreign Direct Investment (FDI) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN) rata-rata sekitar 8%-10% pertahun. Sedangkan dari proyeksi pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi nantinya sampai 2024, disebutnya tanpa adanya omnibus law.
"Jadi kalau misalnya nanti saya melihat bahwa proyeksi daripada pemerintah sampai dengan 2024 sebenarnya itu tanpa ada RUU omnibus law, artinya kalau misal katakanlah sampai ini disahkan menurut saya betul tidak akan bisa langsung menambah investasi langsung masuk ke kita terutama dari FDI," terangnya.
Adapun sumbangan FDI Indonesia disebut Tauhid rata-rata ada di 2% dari Gross Domestic Product ( GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut diterangkan Tauhid memang lebih rendah daripada Vietnam yang mencapai 6% dari PDB-nya.
Baca Juga: APBI dan IMA apresiasi insentif royalti untuk hilirisasi batubara di UU Cipta Kerja
"Apakah langsung pertumbuhan 20%? Engga bisa ini soal regulasi ada implementasi tidak mudah, engga bisa diinikan dengan undang-undang ini hanya sebagai stimulus tapi nggak langsung, faktor lainnya yang disebutkan [tadi] tidak bisa dipecahkan dalam undang-undang itu," ungkapnya.
Tahun 2021 dijelaskan Tauhid merupakan tahun pemulihan. Dimana Indef menghitung kemungkinan pertumbuhan ekonomi baru diangka 3,5%, sedangkan pada 2022 atau 2023 baru akan ada diangka 5%. Misalkan saja ada investasi masuk di tahun depan disebut Tauhid tidak bisa serta merta secara cepat membuat pertumbuhan ekonomi langsung melejit.
"Kalaupun nanti ada investasi masuk engga ujug-ujug [tiba-tiba] pertumbuhan kita langsung sampai 6%. Banyak faktor lain kalau lihat sumber-sumber pertumbuhan ekonomi kita itu kan ada sumber dari kapital, tenaga kerja sama teknologi. Kita hanya bisa di tenaga kerja di teknologi itu kita sama sekali engga ada investasi yang luar biasa. Itu problem kenapa pertumbuhan kita nggak bisa sampai 6%," jelasnya.
Tekrkait pro dan kontra di publik terutama buruh dan pekerja, Tauhid menyebut kelompok buruh mungkin dapat menyiapkan uji materi nantinya. Setelahnya yang tak kalah penting ialah mengawal peraturan turunan dari omnibus law.
"Mengapa peraturan pemerintahannya atau turunannya dari undang-undang itu harus dikawal betul? karena itu domain pemerintah, masyarakat atau kelompok-kelompok itu engga bisa mengakses apalagi berpartisipasi, ini aja tertutup kan," imbuhnya.
Selanjutnya: Inilah pasal UU Cipta Kerja yang paling merugikan bagi kaum buruh yang kena PHK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News