kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ekonom Celios Sesalkan Penerapan Pajak Karbon Diundur, Ini Alasannya


Minggu, 16 Oktober 2022 / 20:31 WIB
Ekonom Celios Sesalkan Penerapan Pajak Karbon Diundur, Ini Alasannya
ILUSTRASI. Pajak.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah dua kali menunda penerapan pajak karbon (carbon tax), terakhir penerapan pajak karbon yang sedianya diterapkan pada Juli tahun 2022 kembali ditunda. Penundaan ini menjadi yang kedua kalinya pada tahun 2022.

Sejatinya, pajak karbon bakal diterapkan pada April 2022. Namun, kebijakan itu ditunda dan rencananya bakal berlaku pada Juli 2022. Sayangnya, kebijakan ini kembali molor hingga di tahun 2025 nanti.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyayangkan keputusan pemerintah yang kembali menunda implementasi pajak karbon.

Pasalnya pajak karbon dari sisi tarif Indonesia termasuk yang paling rendah di dunia, idealnya pajak karbon yang diterapkan ke Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) tidak berdampak terhadap harga jual listrik ke tingkat konsumen.

Baca Juga: Penerapan Pajak Karbon Mundur ke Tahun 2025

"Keputusan menunda pajak karbon sangat disesalkan," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (16/10).

Padahal menurutnya, penerapan pajak karbon juga dapat menjadi insentif bagi PT PLN untuk mengembangkan sumber energi terbarukan (EBT).

Logika dari kebijakan pajak karbon adalah memungut pajak dari penyumbang emisi karbon kemudian hasil dananya dikembalikan ke sektor yang bisa menurunkan emisi karbon.

"Dilihat dari logika tadi yang untung dari pajak karbon justru pembangkit EBT termasuk PLN dengan catatan ada realisasi pembangunan EBT yang masif dari PLN," katanya.

Oleh karena itu, dengan mundurnya penerapan pajak karbon, Bhima menilai bahwa pemerintah belum konsisten dalam mendorong mitigasi perubahan iklim.

Pasalnya, langkah penerapan pajak karbon juga sejalan dengan upaya mempercepat pensiun dini PLTU batubara, dan sebagai upaya dalam mengejar target net zero emission pada 2060.

"Kenapa tidak diterapkan saja secepatnya? Ini yang kami heran. Apakah pemerintah khawatir tekanan dari pengusaha batubara yang merasa dirugikan dengan adanya pajak karbon?," tanya Bhima.

Baca Juga: Hadapi 5 Tantangan, Menko Perekonomian Menilai Ekonomi Indonesia Masih Solid

Mengutip Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 13, pemerintah menetapkan besaran tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×