kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ekonom Celios sebut BSU tidak cukup untuk mengerek daya beli masyarakat


Rabu, 04 Agustus 2021 / 13:28 WIB
Ekonom Celios sebut BSU tidak cukup untuk mengerek daya beli masyarakat
ILUSTRASI. Ekonom Celios sebut BSU tidak cukup untuk mengerek daya beli masyarakat


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah memastikan akan menyalurkan kembali Bantuan Subsidi Upah (BSU) untuk pekerja/buruh senilai Rp 1 juta per orang. Bantuan ini diharapkan dapat meringankan beban ekonomi para pekerja saat pandemi Covid-19, dan diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai, pemberian BSU ini tidak akan terlalu mempengaruhi daya beli masyarakat karena penurunan dari aktivitas ekonomi lebih dalam dibanding bantuan pemerintah.

“Karena bantuan BSU ini akan dilakukan pekan ini, maka dampak ke inflasi akan terbatas. Apakah inflasi inti (core inflation) akan meningkat? Jawabannya belum tentu karena bantuan hanya relatif kecil,” kata Bhima kepada Kontan.co.id, Rabu (4/8).

Bhima menyebut, pada Juli 2021 saja, sebelum ada BSU, inflasi inti sudah turun cukup dalam per Juli sebesar 0,07% dibanding Juni 0,14%. Ini sangat rendah sekali. Selain itu, menurutnya, proyeksi inflasi inti pada Agustus akan tergantung pada pelonggaran PPKM.

Baca Juga: Pekerja & Buruh Harus Memiliki Rekening Bank Himbara Untuk Menerima Subsidi Upah

Bhima berpandangan BSU terlalu sedikit dan tidak mencukupi jika hanya Rp 500.000 per bulan. Sementara tidak sedikit pekerja yang bahkan dirumahkan tanpa digaji selama PPKM darurat. Menuurtnya idealnya pemberian BSU diberikan Rp 1,5 juta per bulan dan total minimum 5 juta rupiah dalam 3 bulan. Hal ini juga didasari karena efek PPKM yang dirasakan bisa sampai 3 bulan ke depan.

Selain itu, penerima BSU sebaiknya ditambah menjadi 20 juta - 30 juta orang dari sebelumnya 8,8 juta orang. Hal ini berdasar dampak dari PPKM mengakibatkan risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal diberbagai sektor.

“BSU ini seakan hanya condong pada pekerja sektor formal padahal sebanyak 59% pekerja atau 78 juta orang bekerja di sektor informal. Syarat BSU harus mencakup pekerja informal. Menurut saya jangan hanya pekerja yang terdaftar di BPJS ketenagakerjaan saja, tapi perhatikan pekerja informal yang tidak punya BPJS,” tandasnya.

Baca Juga: Menaker sebut subsidi gaji bisa meminimalisir tingkat pengangguran terbuka

Hal yang sama juga dikatakan oleh Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky.

Ia menuturkan, BSU tidak ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, tapi untuk menjaga agar masyarakat yang paling rentan PHK masih mampu dikeep oleh perusahaan agar tetap bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. "Jadi memang bukan untuk mendorong naik daya beli masyarakat tapi dijaga agar tidak turun terlalu dalam selama masa pandemi,” jelas Riefky.

Riefky memperkirakan dampak BSU tidak terlalu berpengaruh untuk meningkatkan konsumsi rumah tangga. Sebab, konsumsi secara agregat lebih didorong oleh konsumsi masyarakat menengah atas, yang bukan menjadi tujuan utama dari kebijakan subsidi gaji ini. Begitu pun dengan inflasi, Ia mengatakan pemberian BSU  tidak akan terlalu berdampak. 

Selanjutnya: Menaker sebut tingat pengangguran terbuka menurun tajam pada Februari 2021

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×