Reporter: Martyasari Rizky | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menguatnya nilai tukar rupiah dan turunnya harga minyak dunia dikhawatirkan akan menggagalkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 dari sisi penerimaan. Meski begitu, peneliti senior Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan, efek rupiah dan harga minyak dunia kepada penerimaan APBN tergantung dari seberapa besar deviasi dari asumsi di APBN.
"Kalau rupiah menguat dan harga minyak mengalami penurunan, tapi kan angka keduanya masih lebih tinggi dari asumsi yang ada di APBN," kata Latif kepada Kontan.co.id, Minggu (25/11).
Sekadar informasi, dalam asumsi APBN tahun 2018 rata-rata harga minyak mentah Indonesia diperkirakan sebesar US$ 48 per barel. Sedangkan nilai tukar rupiah akan berada di kisaran Rp 13.500 per US$.
Dengan adanya deviasi tersebut, Latif menilai akan berpotensi mendorong defisit. Hal ini karena, jika nilai tukar rupiah dan harga minyak masih lebih tinggi dari yang diasumsikan, berarti kewajiban pemerintah untuk membayar hutang masih akan lebih besar dari yang diskenariokan.
"Saya juga sebenarnya agak kurang yakin kalau kenaikan harga minyak itu bisa mendorong penerimaan negara. Karena ada dua faktor, konsumsi minyak Indonesia 50% masih impor, yang kedua itu tergantung dari lifting. Jadi tidak sesederhana yang dibayangkan," ujarnya.
Latif bilang, meskipun harga minyak mengalami penurunan dan nilai tukar rupiah juga mengalami penguatan, tetapi kalau masih ada deviasi yang lebih tinggi dari yang diasumsikan, peluang terjadinya peningkatan defisit itu masih mungkin terjadi. Jadi ini semua tergantung dari seberapa besar deviasi dari asumsi APBN 2018.
Ekonom LIPI ini juga memproyeksikan, untuk harga minyak sampai dengan akhir tahun akan berada di sekitar US$ 50 hingga US$ 60 per barel untuk jenis WTI. Sedangkan, untuk nilai tukar rupiah Latif memproyeksikan rupiah akan berada di kisaran Rp 14.500 per dollar AS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News