kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dua alasan Indonesia tertinggal dari negara lain


Rabu, 11 Mei 2016 / 15:44 WIB
Dua alasan Indonesia tertinggal dari negara lain


Sumber: Antara | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan ada dua alasan mengapa Indonesia masih menjadi negara "tertinggal" ketimbang negara-negara lain yang semakin maju.

"Pertama adalah masalah pengelolaan sumber daya manusia, dan kedua adalah pengelolaan sumber daya alam," katanya seusai rapat koordinasi dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Sofyan Djalil di Jakarta, Rabu (11/5).

Menurut Rizal, pada 1960-an, rata-rata perdapatan per kapita negara-negara Asia sekitar 100 dolar AS. Namun, 50 tahun kemudian, pendapatan per kapita negara-negara tersebut meroket jauh meninggalkan Indonesia.

Pendapatan per kapita Taiwan tercatat mencapai 22.300 dolar AS, Korea Selatan 27.200 dolar AS, China yang baru mulai membangun pada era 1980-an sudah mencapai 8.000 dolar AS , Malaysia 9.600 dolar AS dan Thailand 5.800 dolar AS.

Pendapatan per kapita Indonesia kini baru mencapai 3.400 dolar AS. "Kita lumayan, tapi tidak luar biasa," ujarnya.

Mantan Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid itu menuturkan kesalahan pengelolaan SDM dan SDA merupakan dua sebab utama tertinggalnya Indonesia.

"Negara yang tidak punya SDA, mereka fokus ke SDM. Akhirnya mereka ubah bangsanya jadi lebih maju, terampil. Kita ketinggalan. Makanya sekarang kita harus segera lakukan transformask dari tenaga kerja Indonesia menjadi tenaga professional Indonesia," jelasnya.

Masalah pengelolaan SDA, dinilai Rizal disebabkan oleh paradigma lama yang dianut Indonesia di mana konsepnya hanya tebang-ekspor atau sedot-ekspor.

"Paradigmanya, tebang hutan, lalu ekspor. Sedot tanah di Papua lalu ekspor. Tidak dibangun industri hilir sehingga nilai tambahnya sedikit," katanya.

Rizal meminta pandangan pengelolaan SDA seperti itu bisa diubah. Pasalnya, model pengelolaan SDA demikian hanya membuat pertumbuhan ekonomi yang rendah yakni hanya 5-7 persen dengan kualitas pertumbuhan yang juga rendah.

"Saya minta tolong, perlu perubahan paradigma pengelolaan SDM dari sekadar sedot ekspor, kita kembangkan nilai tambahnya," katanya menyinggung pengelolaan Lapangan Gas Abadi di Blok Masela, Maluku.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×