Reporter: Dani Prasetya | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Komisi VI DPR meminta pemerintah menerapkan kebijakan asas cabotage (kebijakan menggunakan bendera Indonesia pada armada yang beroperasi di Indonesia) pada transportasi udara. Usulan itu sebagai langkah menangkal kebijakan open sky (membuka langit Indonesia untuk semua maskapai di lingkup ASEAN).
"Kalau laut ada asas cabotage, seharusnya perhubungan udara juga ada asas cabotage versi udara. Kita belum siap open sky, apalagi agresi maskapai asing yang bertransformasi memakai nama Indonesia sangat gencar," tutur anggota Komisi VI DPR Azam Azman Natawijaya, pada rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan PT Merpati Nusantara Airlines, Senin (27/6).
Dia berpendapat, seharusnya asas yang telah diterapkan di perhubungan laut itu dapat diimplementasikan pada perhubungan udara. Sebab, dari segi kesiapan permodalan dan armada, maskapai Indonesia masih belum siap menghadapi kebijakan open sky tersebut. Anggota Komisi VI DPR Atte Sugandi ikut mengatakan, open sky itu hanya akan menjadi peluang bagi maskapai asing mengangkut penumpang Indonesia dengan bebas.
Belum lagi agresi maskapai asing yang masuk ke Indonesia lewat anak perusahaan yang ditransformasikan sebagai maskapai nasional berkepemilikan orang Indonesia. "Dari segi kebijakan, Indonesia itu terlalu membebaskan rute penerbangan," ujarnya. Selain itu, maskapai asing yang masuk ke Indonesia pun hanya kelas penerbangan murah (low cost carrier/LCC), bukannya penerbangan kelas premium. Akibatnya, secara ekonomis, penumpang Indonesia lebih memilih layanan penerbangan murah maskapai asing.
Seperti diketahui, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan sebenarnya telah memberikan batasan bagi maskapai asing untuk tidak mengangkut penumpang antarkota di Indonesia. Hal itu bisa dipersepsikan sebagai asas cabotage terbatas.
Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar mengakui, maskapai Indonesia belum siap menghadapi kebijakan open sky pada 2015. Ketidaksiapan itu terindikasi dari permodalan dan armada yang masih jauh tertinggal dibanding maskapai asing regional ASEAN lainnya.
Belum lagi, sektor aviasi yang belum beroperasi optimal selama 24 jam. Akibatnya, biaya operasional pesawat per jam masih jauh lebih mahal ketimbang maskapai ASEAN lain yang telah disokong operasional bandara selama 24 jam. "Permodalan, armada, dan bandara kita belum siap hadapi open sky," ucapnya.
Direktur Operasi PT Merpati Nusantara Asep Ekanugraha mengutarakan, agar pemerintah menerapkan open sky terbatas. Sebab, tidak semua maskapai siap menghadapi kebijakan open sky itu. Dia sendiri mengakui, Merpati belum siap bersaing dengan maskapai asing. Bahkan, dengan maskapai dalam negeri pun Merpati harus berusaha keras agar dapat eksis di dunia penerbangan dalam negeri.
"Dari segi persaingan Merpati masih lemah, kami meminta ada penerapan tarif batas bawah, terutama menghadapi maskapai low cost carrier," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News