Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, Presiden Joko Widodo harus meminta pertimbangan DPR saat akan mengubah nomenklatur kabinetnya. Menurut Fadli, hal itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara.
"Secara ketatanegaraan itu harus minta pertimbangan DPR kalau ada perubahan nomenklatur. Kalau orang-orang yang dijadikan menteri itu baru prerogatif Presiden," kata Fadli, di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (22/10/2014).
Hingga saat ini, kata Fadli, Pimpinan DPR belum menerima surat perubahan nomenklatur dari Jokowi. Padahal, Jokowi hanya memiliki waktu maksimal 14 hari untuk menetapkan dan mengumumkan susunan kabinetnya setelah dilantik menjadi Presiden RI.
Menurut Fadli, pertimbangan DPR wajib karena perubahan nomenklatur kabinet akan membawa banyak implikasi di antaranya perencanaan anggaran dan distribusi pegawai.
"Perubahan nomenklatur pasti berpengaruh pada anggaran, dan turunannya bisa sampai ke bawah, bisa puluhan miliar. Kalau ada penggabungan kementerian juga sama, pasti ada konsekuensi anggaran," ujarnya.
Pembentukan dan pengubahan kementerian yang diatur Pasal 4 UU Kementerian Negara menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang ditangani kementerian terbagi menjadi urusan yang nomenklatur kementeriannya secara eksplisit disebutkan dalam konstitusi, yang ruang lingkupnya disebutkan dalam konstitusi, serta urusan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah. Rinciannya dimuat dalam Pasal 5.
Pasal 1 Angka 5 UU 39 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengubahan kementerian adalah pengubahan nomenklatur kementerian dengan cara menggabungkan, memisahkan, dan/atau mengganti nomenklatur kementerian yang sudah terbentuk.
Pasal 12 mewajibkan pembentukan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Pertahanan. Pasal 20 menegaskan ketiga kementerian tersebut tidak bisa dibubarkan. Di luar tiga kementerian itu, pembentukan kabinet merujuk aturan umum pada Pasal 4. Batasannya hanya berupa jumlah maksimal 34 kementerian sebagaimana diatur dalam Pasal 15.
Adapun masalah pengubahan kementerian diatur UU ini dalam Bagian Kedua, tepatnya pada Pasal 17 sampai Pasal 19. Ketiga pasal menyatakan bahwa pada dasarnya Presiden dapat mengubah kementerian, menurut ketentuan Pasal 17. Pertimbangan untuk mengubah kementerian itu dirinci pada Pasal 18. Menurut Pasal 18 Ayat 2 UU Kementerian Negara, pengubahan kementerian bisa dilakukan dengan pertimbangan efisiensi dan efektivitas; perubahan dan/atau perkembangan tugas dan fungsi.
Pertimbangan berikutnya, menurut klausul ini, adalah cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas; kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas; peningkatan kinerja dan beban kerja pemerintah; kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri; dan/atau kebutuhan penyesuaian peristilahan yang berkembang.
Meski demikian, Pasal 19 Ayat 1 UU Kementerian Negara menyatakan pengubahan sebagai akibat pemisahan atau penggabungan Kementerian dilakukan dengan pertimbangan DPR. Ayat kedua pasal ini memberi waktu tujuh hari untuk DPR memberikan pertimbangan yang diminta sesuai ayat 1 tersebut.
Ayat 3 dari Pasal 19 UU Kementerian Negara melanjutkan ketentuan ayat sebelumnya, dengan menyatakan bila lewat 7 hari DPR tak memberikan pertimbangan, maka DPR dianggap telah memberikan pertimbangan.
Untuk pembubaran kementerian yang dimungkinkan dibubarkan, Pasal 21 mensyaratkan pertimbangan DPR dengan ketentuan sebagaimana ketika pengubahan kementerian. Perkecualian diberikan untuk penghapusan kementerian yang menangani agama, hukum, keuangan, dan keamanan yang mensyaratkan persetujuan DPR. (Indra Akuntono)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News