Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Mendorong ekspor menjadi hal wajib yang harus dilakukan pemerintah. Di tengah kondisi ekonomi global yang lesu dan ekspor yang tertekan maka pemerintah akan memperbaiki sistem fasilitas ekspor di dalam negeri yaitu Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai Susiwijono Moegiarso mengatakan yang memanfaatkan fasilitas KITE saat ini sangat minim. Hingga sekarang semenjak fasilitas ini berlaku baru 419 perusahaan yang memanfaatkan fasilitas ini.
Jumlah ini sangat minim sehingga membutuhkan dorongan yang ekstra. Padahal, fasilitas yang terutang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 176/PMK.04/2013 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan Untuk Diekspor ini sangat bagus untuk memacu ekspor.
Menurut Susi, salah satu penyebab utama minimnya eksportir untuk menggunakan fasilitas ini adalah karena sanksi administratifnya yang tinggi. Sanksi administratif KITE tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan.
Apabila eksportir terhadap hasil produksinya ternyata tidak diekspor atau tidak dilaporkan sampai dengan periode pembebasan selesai, dan terjadi kekurangan pembayaran bea masuk maka perusahaan eksportir akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda. Dendanya tidak tanggung-tanggung. "Besarannya bisa 100%-1000% dari kekurangan bea masuk. Kita dengan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sedang duduk bersama soal ini," ujarnya, Selasa (23/12).
Dalam PP Nomor 29 Tahun 2008 tentang pengenaan sanksi berupa denda dalam pasal 6 disebutkan berbagai besaran denda dalam persentase tertentu. Misalnya, apabila ada kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar sampai dengan 25%, maka dikenai denda sebesar 100% dari kekurangan tersebut. Sedangkan apabila kekurangannya mencapai di atas 100%, maka dikenai denda hingga 1000% dari kekurangan pembayaran bea masuk atau bea keluar.
Bea cukai bersama BKF akan mengkaji apakah porsi denda tersebut adil bagi eksportir, sedangkan perusahaan tersebut sudah pasti penerima fasilitas KITE. Denda akan dibuat lebih fleksibel. Sementara itu, lanjut Susi, yang juga dikeluhkan eksportir adalah masalah pembuktian realisasi ekspor.
Pengembalian bea masuk baru bisa dibayarkan bea cukai kalau eksportir tersebut sudah terbukti melakukan ekspor. Sementara itu, dari sisi perusahaan untuk menunjukkan realisasi ekspor butuh jangka waktu satu tahun. Padahal dalam PMK KITE, periode pembebasan bea masuk diberikan jangka waktu paling lama satu tahun sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan impor. "Mereka (eksportir) kesulitan untuk membuktikan realisasi ekspornya. Dari sisi ini akan kita permudah," tandasnya.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat, kalau kesalahan penghitungan bea masuk dari para eksportir adalah murni kesalahan penghitungan maka denda administratif tidak perlu sebesar itu. Seharusnya fasilitas KITE ini berikut sistemnya bisa dipermudah.
Bahan baku industri tanah air sebagian besar diperoleh dari impor. Maka dari itu, apabila ada perusahaan yang mengimpor lalu impornya ditujukan untuk ekspor seharusnya didukung. "Karena akan jadi nilai tambah untuk barang yang diproduksi," papar David.
Menurutnya, yang juga harus diperhatikan pemerintah adalah produk substitusi impor atau produksi dalam negeri terhadap barang-barang yang tadinya diimpor. Pemerintah harus bisa memberikan fasilitas terhadap perusahaan yang ingin membangun produk substitusi impor. Ini akan sangat membantu beban ketergantungan impor Indonesia yang besar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News