Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dana Moneter Internasional (IMF) menilai, dampak kebijakan tarif perdagangan Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump, bisa membuat indeks dollar AS meningkat, sehingga membuat biaya utang banyak negara termasuk Indonesia meningkat.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto menyampaikan, pengadaan utang untuk pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dilakukan dengan komposisi yang terukur. Seperti mengelola risiko portofolio utang, termasuk dalam mengantisipasi risiko nilai tukar (currency risk).
Disamping itu, Suminto juga tak terlalu khawatir dengan menguatnya indeks dollar AS tersebut, lantaran komposisi outstanding utang pemerintah paling banyak atau sekitar 72% berdenominasi rupiah, sementara sisanya sebanyak 28% dalam valuta asing (USD, JPY, EUR, dan mata uang lainnya).
“Dengan demikian dampak pelemahan rupiah (penguatan dollar AS) cukup terkelola dengan baik (managable),” tutur Suminto kepada Kontan, Senin (20/1).
Adapun ia menambahkan, pengadaan utang tahun 2025 dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN 2025, dilakukan secara pruden dengan menjaga biaya bunga (cost of fund) yang wajar dan risiko yang terkendali.
Baca Juga: Rupiah Diperkirakan Melemah Pekan Ini, Efek Dimulainya Pemerintahan Trump
Sejalan dengan itu, risiko portofolio utang, baik terkait risiko nilai tukar (currency risk), risiko suku bunga (interest risk), maupun risiko refinancing (refinancing risk) akan terus dijaga pada level optimal.
“Di tengah kondisi pasar keuangan global yang masih dinamis, termasuk dampak arah kebijakan Presiden Trump, Pemerintah akan terus menjaga kondusifitas dan stabilitas pasar keuangan domestik, termasuk pasar SBN,” ungkapnya.
Utang dalam valuta asing, baik berupa SBN maupun pinjaman, Ia menyampaikan pemerintah akan melakukannya secara terkendali dalam rangka mengelola risiko nilai tukar.
Secara strategi penerbitan SBN, untuk penerbitan SBN valas kami akan oportunistik dari sisi currency, size, maupun timing penerbitannya untuk mendapatkan biaya bunga dan risiko terbaik.
Tahun ini, dalam rangka diversifikasi instrumen dan menjaga yield curve serta regularitas di pasar, pemerintah mempertimbangkan penerbitan SBN valas dalam US$, EURO, dan JPY.
“Penerbitan tematik baik dalam bentuk green, SDGs, maupun blue akan terus kami lanjutkan dalam mendukung pembiayaan perubahan iklim dan pencapaian target SDGs,” tambahnya.
Lebih lanjut, secara makro, Suminto menyebut, pengelolaan dan kinerja makroekonomi dan fiskal yang sehat dan kuat akan mendukung pasar keuangan yang suportif. Pada sisi mikro, dalam hal pengadaan utang, pemerintah akan menerapkan strategi yang pruden dan sekaligus fleksibel dan oportunistik.
“Komposisi utang dari sisi mata uang, tenor, instrumen, maupun timing penerbitan akan menyesuaikan kondisi pasar, posisi kas Pemerintah, dan perkembangan kebutuhan pembiayaan APBN,” tandansya.
Untuk diketahui, pemerintah menargetkan pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) neto sebesar Rp 642,6 triliun pada tahun 2025.
Sementara itu, pinjaman neto ditargetkan Rp 133,3 triliun, terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 5,17 triliun, dan pinjaman luar negeri Rp 128,1 triliun.
Sebelumnya, Konselor Ekonomi dan Direktur Departemen Penelitian IMF Pierre-Olivier Gourinchas mengatakan, AS kemungkinan akan mengeluarkan kebijakan seperti stimulus tambahan atau deregulasi.
Kebijakan tersebut akan membuat kenaikan harga barang dan jasa yang lebih tinggi dari yang direncanakan.
"Hal ini akan meningkatkan output dan inflasi dalam waktu dekat," ujar Gourinchas dalam acara peluncuran World Economic Outlook Januari 2025, Jumat (17/1).
Selain itu, kebijakan lain seperti kenaikan tarif perdagangan atau pembatasan migrasi dapat menghambat kapasitas produksi di AS. Meski efeknya terhadap pertumbuhan ekonomi cenderung negatif, langkah ini tetap bisa mendorong kenaikan harga karena pasokan barang jadi lebih terbatas.
Inflasi yang lebih tinggi di AS bisa memaksa bank sentralnya, Federal Reserve (The Fed), untuk menunda rencana menurunkan suku bunganya.
Hal ini akan membuat dolar AS semakin kuat, yang berarti negara-negara berkembang akan menghadapi biaya utang lebih tinggi karena banyak utang mereka yang menggunakan dolar.
"Kebijakan ini juga kemungkinan akan memperkuat dolar dan memperketat kondisi keuangan di tempat lain, terutama untuk pasar berkembang dan negara-negara ekonomi berkembang," katanya.
Baca Juga: Sebelum Menukarkan Valas, Tengok Kurs Dollar-Rupiah di Bank Mandiri pada Senin (20/1)
Selanjutnya: Atasi Likuiditas, Analis Meminta BI Pangkas GWM Turun dari 9% Menjadi 3% Hingga 5%
Menarik Dibaca: Traveloka Bagikan Promo dan Inspirasi Jelang Tahun Baru Imlek
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News