kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.461.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.130   40,00   0,26%
  • IDX 7.697   -47,60   -0,61%
  • KOMPAS100 1.196   -13,16   -1,09%
  • LQ45 960   -10,60   -1,09%
  • ISSI 231   -1,75   -0,75%
  • IDX30 493   -3,97   -0,80%
  • IDXHIDIV20 592   -5,69   -0,95%
  • IDX80 136   -1,30   -0,95%
  • IDXV30 143   0,32   0,23%
  • IDXQ30 164   -1,28   -0,77%

DJPPR Kemenkeu: Perhitungan Utang Negara Dibagi Jumlah Penduduk Itu Keliru


Selasa, 19 September 2023 / 16:42 WIB
DJPPR Kemenkeu: Perhitungan Utang Negara Dibagi Jumlah Penduduk Itu Keliru
ILUSTRASI. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menyatakan, perhitungan utang negara dengan cara total utang negara dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia adalah keliru.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menyatakan, perhitungan utang negara dengan cara total utang negara dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia adalah keliru.  

Hal ini menanggapi ramainya masyarakat yang menghitung jika utang negara ditanggung masyarakat, hasilnya tiap orang akan menanggung utang Rp 28 juta.

Direktur Surat Utang Negara DJPPR Deni Ridwan menyampaikan, kaidah perhitungan tersebut kurang tepat, sebab tidak sesuai dengan perhitungan utang secara internasional.

Menurut Deni, perhitungan yang kerap digunakan adalah perbandingan utang dengan gross domestic product (GDP) atau produk domestik bruto (PDB). Hal itu sebagai gambaran dari ukuran ekonomi suatu negara, sekaligus kemampuan pemerintah mengumpulkan pajak.

“Semakin kecil rasio debt to GDP menunjukkan suatu negara semakin aman atau mampu memenuhi kewajiban utangnya,” tutur Deni Ridwan melalui keterangannya, Senin (18/9).

Baca Juga: Utang Luar Negeri BUMN Tembus US$ 48 Miliar Hingga Juli 2023

Adapun posisi utang pemerintah Indonesia per akhir Juli 2023 sebesar Rp 7.855,53 triliun dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 37,78%.. Posisi tersebut di bawah ambang batas yang diperbolehkan UU No.1/2003 tentang Keuangan Negara, yakni 60%.

Bila diperbandingkan dengan negara lain, posisi utang Indonesia juga tergolong lebih rendah. Seperti, Malaysia 60,4%, Filipina 60,9%, Thailand 60,96%, Argentina 85%, Brazil 72,87%, dan Afrika Selatan 67,4%.

Oleh karena itu, Deni memastikan, kondisi utang Indonesia masih aman dan dikelola dengan hati-hati. Terlebih defisit anggaran APBN saat ini sudah di bawah 3 persen dari GDP dan hal ini telah sejalan dengan komitmen konsolidasi fiscal kita agar segera kembali ke batas 3% hingga 2023.

“Dalam pengelolaan utang, kita tergolong sangat aman. Kita berkomitmen dalam pengelolaan utang ini, sehingga telah dinilai cukup kredibel oleh investor, baik di dalam atau luar negeri. Terupdate, Lembaga rating R&I memberikan afirmasi rating Indonesia BBB+ dan menaikkan outlook menjadi positif,” jelasnya.

Faktor lain yang mendukung pengelolaan utang Indonesia sangat positif, lanjut Deni Ridwan, adalah komposisi utang yang didominasi oleh domestik dibanding dari luar negeri. Per akhir Juli 2023, outstanding utang domestik dalam mata uang Rupiah mencapai 72,4%.

“Ini menunjukkan pengelolaan kita semakin aman karena utang yang kita terbitkan sekitar 72% dalam mata uang rupiah dan dijual di pasar domestik. Resiko currency-nya semakin kecil,” terangnya.

Ke depan, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPRR) Kemenkeu memiliki strategi untuk menjaga agar pengelolaan utang Indonesia makin baik.

Pertama, dari sisi volume diupayakan makin berkurang. Lalu dari segi komposisi, penerbitan utang dalam mata uang rupiah akan diprioitaskan.

Selain itu, pemerintah juga akan mengurangi refinancing risk atau menjaga rata-rata jatuh tempo semakin panjang. Saat ini rata-rata jatuh tempo utang pemerintah pada 8,15 tahun.

Terakhir adalah dengan meningkatkan peran dari investor ritel. Mengingat saat ini minat masyarakat untuk berinvestasi pada SBN Ritel cukup besar, sekaligus memberikan ruang investasi yang aman bagi masyarakat.

Pemerintah ingin menggunakan SBN Ritel tidak sekadar alat untuk mendapatkan pembiayaan untuk APBN, tetapi juga sebagai alat untuk redistribusi kekayaan. Karena selama ini investor SBN itu kebanyakan adalah institusi, nantinya bisa individu.

"Sehingga masyarakat punya opsi lebih untuk berinvestasi dengan imbal hasil yang baik dan aman, sekaligus berkontribusi pada pembangunan,” imbuhnya.

Baca Juga: Kewajiban Neto Posisi Investasi Internasional RI Pada Kuartal II 2023 Turun

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×