Reporter: Oginawa R Prayogo |
JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan tidak dapat menargetkan kapan proses kaji ulang traktat pajak (tax treaty) bisa rampung. Pengkajian ulang traktat pajak dengan sejumlah negara mitra Indonesia masih berlarut-larut.
"Saya tidak bisa targetkan, karena itu kan sangat bergantung sama dua negara ya, masing-masing prosesnya beda-beda. Kalau membahas materinya sih tidak lama, yang lama proses ratifikasinya di masing-masing negara," ujar Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany, Kamis (23/8).
Menurut Fuad, pengkajian ulang traktat pajak ini difokuskan ke negara-negara besar seperti Jepang, Korea Selatan, Jerman, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat. Sedangkan, traktat pajak dengan negara-negara kecil dianggap tidak terlalu penting karena perdagangan Indonesia dengan negara-negara kecil itu hanya sedikit.
Fuad juga menjelaskan proses itu akan disesuaikan dengan standar pajak yang baru. Pihaknya akan terus memperbaiki dengan meminta lagi ke beberapa negara tersebut untuk melakukan revisi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengaku sudah mulai mengkaji 54 traktat pajak. Agus mengklaim posisi Indonesia saat ini jauh menguntungkan daripada sebelumnya. Langkah ini diambil lantaran muncul dugaan sejumlah perusahaan migas sengaja memanfaatkan aturan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Sebagaimana diketahui, dalam traktat pajak, tarif pajak yang ditetapkan lebih rendah dari tarif pajak yang berlaku di Indonesia. Sebagai contoh, tarif pajak migas dalam traktat pajak dengan Inggris hanya 10% atau dengan Malaysia sebesar 12,5%. Sementara, tarif pajak penghasilan dalam UU Migas sebesar 20%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News