kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.455.000   12.000   0,83%
  • USD/IDR 15.155   87,00   0,57%
  • IDX 7.743   -162,39   -2,05%
  • KOMPAS100 1.193   -15,01   -1,24%
  • LQ45 973   -6,48   -0,66%
  • ISSI 227   -2,76   -1,20%
  • IDX30 497   -3,22   -0,64%
  • IDXHIDIV20 600   -2,04   -0,34%
  • IDX80 136   -0,80   -0,58%
  • IDXV30 141   0,18   0,13%
  • IDXQ30 166   -0,60   -0,36%

Ditjen Pajak minta tiga otonomi tambahan


Senin, 21 Oktober 2013 / 18:37 WIB
Ditjen Pajak minta tiga otonomi tambahan
ILUSTRASI. Suasana pelayanan pajak di KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga, Jakarta Pusat, Selasa (4/1/2022). Warta Kota/Angga Bhagya Nugraha


Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Realisasi penerimaan pajak setiap tahunnya selalu melenceng dari target. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun meminta tiga otonomi untuk kewenangan tambahan agar dapat menggenjot penerimaan pajak ke depannya.

Saat ini, pajak hanya mempunyai dua kewenangan, yaitu soal kewenangan dan peraturan. Itu pun mengenai peraturan hanya separuh. Sebab, setengah kewenangan lagi diambil oleh Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Jadi, kewenangan DJP lebih tepatnya hanya satu setengah.

Inilah yang membuat DJP gerah. Padahal, setiap tahunnya target penerimaan pajak selalu dinaikkan. Lihat saja, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (2013), setoran pajak naik 12,45% menjadi Rp 995,213 triliun dari APBNP sebelumnya. Di tahun 2014 besok, penerimaan pajak mau dinaikkan lagi menjadi Rp 1.110,2 triliun.

DJP pun membuat kajian. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Kismantoro Petrus mengatakan, ada tiga otonomi yang dibutuhkan.

Pertama, otonomi SDM terkait kapasitas pegawai pajak. Selain jumlah pengawai pajak yang minim, DJP pun berhadapan dengan pencarian SDM pajak yang berkualitas. Untuk memenuhi itu, DJP minta jangan ada pembatasan dalam perekrutan.

Yang mengetahui apa yang menjadi kebutuhan pajak dalam merekrut pegawainya adalah pajak sendiri. Namun, dalam praktiknya yang merekrut pegawai pajak bukanlah pihak pajaknya sendiri. Sehingga pegawai pajak yang direkrut sering tidak tepat. "Perlu suatu otonomi gitu lah supaya pajak bisa rekrut sendiri," ujar Kismantoro di Jakarta, Senin (21/10).

Kedua, otonomi organisasi. Otonomi ini terkait kewenangan DJP untuk mengatur perihal Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Kapan  membentuk, memperbanyak, ataupun memperbesar hingga mengurangi kapasitas orang di KPP harus menjadi hak penuh DJP. Selama ini urusan tersebut panjang dan perlu ijin yang banyak dan merepotkan.

Dalam otonomi ini juga diatur mengenai prosedur pemecatan karyawan. Pemecatan pegawai pajak bisa dilakukan secara langsung oleh pihak pajak. Sekarang ini di lapangan pemecatan pegawai pajak harus melalui pemeriksaan kemenkeu dan prosesnya bisa berlangsung selama dua tahun lebih.

Ketiga, otonomi biaya. DJP membutuhkan biaya untuk keberlangsungan kerja. Misalnya tunjangan biaya hidup pegawai pajak.

Potensi pajak kurang tergali

Kismantoro mengambil contoh pegawai pajak yang berkantor di Papua. Di sana tunjangannya kecil dan disamakan dengan tunjangan di daerah lain, padahal biaya hidup di sana besar. "Akhirnya potensi pajak di sana kurang tergali," tutur Kismantoro.

Kewenangan pajak yang minim ini bila dibanding negara lain sangatlah jauh. Berdasarkan riset OECD, Dirjen Pajak di Belanda mempunyai sembilan kewenangan Dalam hal ini Indonesia menjadi negara dengan kewenangan pajak terburuk.

Namun apakah ini berarti DJP harus lepas dari Kemenkeu untuk bisa mendapatkan kewenangannya, Kismantoro menjelaskan tidak harus keluar. "Yang penting itu kewenangannya. Buktinya itu di Belanda bisa Dirjen punya 9 kewenangan," pungkasnya.

Permasalahan inilah yang kemudian menurut DJP menjadi penghambat untuk mengejar realisasi penerimaan pajak. Nantinya kajian ini rencananya akan dibukukan oleh DJP dan  disebarkan kepada publik dalam waktu dekat.

Menanggapi permintaan DJP ini, Menteri Keuangan Chatib Basri enggan berkomentar. "Itu nanti kita bicarakan di internal," tandas Chatib.

Pengamat Perpajakan dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menilai apabila DJP ingin mendapatkan tiga otonomi tersebut maka DJP harus keluar dari Kemenkeu dan menjadi badan sendiri. Sebab, apa yang diminta oleh DJP itu berlawanan dengan aturan yang sudah ada.

Terlebih urusan penyusunan organisasi ada di Kementerian Pertahanan sehingga tidak semudah itu DJP bisa meminta tambahan kewenangan.

Kalaupun DJP ingin meminta kewenangan tambahan ke Kemenkeu, bentuknya bukanlah otonomi melainkan pendelegasian. DJP bisa meminta peraturan khusus dari Menkeu agar berhak mengatur tiga hal tersebut.

Namun memang itu menjadi kewenangan Menkeu untuk memutuskan apakah DJP bisa mendapatkan delegasi tersebut."Sepanjang itu tidak disetujui berarti tidak bisa," tukas Ronny.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×