kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ditjen Bea Cukai optimistis realisasi cukai bisa capai Rp 171 triliun di akhir 2019


Minggu, 22 Desember 2019 / 15:20 WIB
Ditjen Bea Cukai optimistis realisasi cukai bisa capai Rp 171 triliun di akhir 2019
ILUSTRASI. Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Realisasi penerimaan bea dan cukai masih kurang Rp 32,59 triliun untuk mencapai target akhir tahun ini. Pemerintah berharap, kinerja penerimaan cukai mampu menutup kekurangan tersebut di sisa satu bulan lagi.

Asal tahu saja, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai per tanggal 30 November 2019 telah mencapai Rp 176,23 triliun atau 84,39% dari target akhir tahun sebesar Rp 208,82 triliun. Capaian tersebut masih meneruskan tren positif sejak awal tahun 2019, dengan tumbuh sebesar 6,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Kontributor penerimaan terbesar berasal dari cukai mencapai 79,13% dari realisasi November dengan pencapaian sebesar Rp 139,46 triliun atau setara 84,26% dari target akhir 2019 senilai Rp 165,5 triliun. Di mana sumbangsih terbanyak dari cukai hasil tembakau (CHT) yakni Rp 133,07 triliun. 

Baca Juga: Jelang akhir tahun, Menkeu minta Bea Cukai awasi serbuan barang impor ilegal

Secara umum tren pertumbuhan pendapatan cukai ini sudah berlangsung sejak bulan lalu di mana selama November 2019 saja telah meraup penerimaan sebesar Rp 20,8 triliun. Angka ini tumbuh 21,9% dibanding penerimaan cukai November 2018 senilai Rp 17,06 triliun.

Direktur Jenderal (Dirjen) Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Heru Pambudi optimistis sepanjang bulan ini penerimaan cukai bisa mencapai Rp 31,54 triliun, sehingga bisa memenuhi target akhir tahun. Proyeksi Heru penerimaan cukai bisa mencapai Rp 171 triliun, atau setara dengan 103,2% dari target tahun 2019.

Heru mengonfirmasi sampai dengan 18 Desember 2019 penerimaan cukai mencapai Rp 13,3 triliun. Jumlah ini akan bertambah akibat kebijakan relaksasi pelunasan pita cukai rokok kredit dan efektifitas program Penertiban Cukai Berisiko Tinggi (PCBT) dalam mengurangi peredaran rokok ilegal. 

“Optimistis bisa mencapai target. Pertumbuhan signifikan cukai di tengah perlambatan penerimaan bea masuk dan keluar menjadi pendorong utama penerimaan secara umum,” kata Heru, Kamis (19/12).

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu Nirwala Dwi Heryanto menyatakan penerimaan cukai bisa mencapai target bahkan lebih lantaran produksi rokok tahun ini naik sekitar 4%-5% dibanding tahun lalu. Sebab, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok. 

Dari sisi pembayaran atas Permohonan Penyediaan Pita Cukai (P3C) pada November-Desember biasanya terjadi borongan pembayaran pita cukai. Yang mana sebagian realisasi Desember sekiranya pada dua sampai tiga minggu pertama dibukukan di tahun 2019, namun sisanya masuk ke penerimaan cukai awal 2020.

Forestalling naik tinggi, wajar beli cukai lebih banyak di tahun ini. Tapi forestalling ada aturannya tidak bisa semaunya, tergantung dari kapasitas volume produksi industri rokok, yang di luar batasan tidak bisa,” kata Nirwala kepada Kontan.co.id, Sabtu (21/12).

Di sisi lain, tahun depan pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp 179,3 triiun. Angka ini naik Rp 13,8 triliun atau setara 8,33% dari target tahun 2019.  Otoritas meyakini tahun depan penerimaan cukai akan tumbuh meski forestalling bergeliat di tahun ini.

Baca Juga: Penerimaan Bea Cukai tahun 2019 diprediksi melampaui target

Nirwala bilang dengan tarif rata-rata cukai rokok tahun depan sebesar 22% dan harga jual eceran (HJE) rokok 35% target penerimaan niscaya terapai, meski produksi rokok menurun. Ditambah aksi pemberantasan rokok ilegal tahun 2020 yang diprediksi hanya tersisa 1% dari jumlah peredaran, turun dari tahun ini sebanyak 3%.

“Produksi rokok pasti turun, tapi tidak drastis, hitungannya secara value sama saja tarif tinggi tapi produksi turun dengan tarif rendah dan produksi naik,” papar Nirwala.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×