kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dinilai diskriminatif, KPCDI gugat Perpres 75/2019 ke Mahkamah Agung


Jumat, 06 Desember 2019 / 22:20 WIB
Dinilai diskriminatif, KPCDI gugat Perpres 75/2019 ke Mahkamah Agung
ILUSTRASI. Petuga BPJS Kesehatan melayani masyarakat di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, Selasa (3/12). BPJS Watch memproyeksikan besaran defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS Kesehatan pada akhir tahun ini akan mencapai Rp 18 triliun. Tak hanya itu, le


Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) telah mendaftarkan hak uji materiil Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat, Kamis (05/12).

Pengacara KPCDI, Rusdianto Matulatuwa berpendapat, kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100% menuai penolakan dari sejumlah pihak salah satunya dari KPCDI.

Baca Juga: Kunjungan kerja, Jokowi sidak layanan BPJS di RSUD Cilegon

"Angka kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100% menimbulkan peserta bertanya-tanya dari mana angka tersebut didapat, sedangkan kenaikan penghasilan tidak sampai 10% setiap tahun," kata dia dalam keterangan di Jakarta, Jumat (06/12). 

Rusdianto menegaskan, Iuran BPJS naik 100% tanpa ada alasan logis, dan sangat tidak manusiawi. Ingat ya, parameter negara ketika ingin menghitung suatu kekuatan daya beli masyarakat disesuaikan dengan tingkat inflasi. 

Rusdianto menambahkan, tingkat inflasi ini betul-betul dijaga, tidak melebihi 5 persen. Pasalnya, kalau sudah mencapai 5 persen sudah gerah semua. Nah, ini kenaikan (inflasi) tidak sampai 5%, tapi iuran BPJS dinaikkan 100%, inikan tidak masuk akal," protes Rusdianto. 

Baca Juga: Pekan ketiga Desember, Kemenkeu bakal cairkan sisa talangan iuran BPJS Kesehatan

Menurut Rusdianto, Perpres 75 Tahun 2019 menjadi bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

"Ya undang-undangnya kan mengatakan besaran iuran itu ditetapkan secara berkala sesuai perkembangan sosial,ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak," imbuhnya.

Ketua Umum KPCDI, Tony Samosir mengatakan, kebijakan menaikkan iuran tersebut dikhawatirkan akan membebani peserta BPJS Kesehatan di kelas mandiri yang tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu tapi belum terdaftar sebagai peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran). 

Baca Juga: Pembayaran BPJS Kesehatan sering terhambat akibat salah coding

Tony memproyeksi akan banyak yang menunggak, sehingga berpotensi sebagian besar masyarakat tidak bisa menikmati layanan kesehatan yang merupakan hak setiap warga negara

“Sebagai pasien gagal ginjal, sudah tidak produktif lagi seperti dulu, rentan terkena PHK, ditambah pengeluaran mereka tinggi untuk membeli obat-obat yang tidak dijamin oleh BPJS," ungkapnya

Tony bilang, banyak pasien gagal ginjal yang PBI-nya juga dicabut tanpa pemberitahuan oleh Kementerian Sosial dan Dinas Sosial akibat dari cleansing data.

Baca Juga: Pendapatan Royal Prima (PRIM) turun 18,66% di kuartal III-2019

“Laporan yang kami terima, pasien tidak bisa cuci darah. Mereka ini berpotensi gagal bayar iuran. Gagal bayar iuran membuat Kartu BPJS Kesehatannya tidak aktif. Mereka tidak bisa cuci darah dan berpotensi mengancam nyawanya," terangnya.

KPCDI berharap kepada Yang Mulia Hakim Mahkamah Agung dapat menerima dan mengabulkan permohonan yang berkeadilan sosial dan menyatakan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×