kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.491.000   15.000   1,02%
  • USD/IDR 15.825   30,00   0,19%
  • IDX 7.212   78,06   1,09%
  • KOMPAS100 1.110   15,82   1,45%
  • LQ45 879   10,92   1,26%
  • ISSI 221   3,66   1,69%
  • IDX30 449   5,86   1,32%
  • IDXHIDIV20 542   6,44   1,20%
  • IDX80 127   1,87   1,49%
  • IDXV30 135   1,62   1,22%
  • IDXQ30 149   1,64   1,11%

Menimbang Pemberlakuan Tarif Pajak Normal Bagi Usaha Wong Cilik di 2025


Kamis, 25 Januari 2024 / 19:51 WIB
Menimbang Pemberlakuan Tarif Pajak Normal Bagi Usaha Wong Cilik di 2025
ILUSTRASI. Pengunjung melihat-lihat produk Usaha Kecil dan Menengah (UKM) unggulan yang dipamerkan di Solo Paragon Mall, Jawa Tengah, Rabu (12/6/2019). Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan menaikkan target penerimaan perpajakan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebesar Rp100 miliar dari tahun lalu menjadi Rp5,8 triliun. ANTARA FOTO/Maulana Surya/aww.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID-JAKARTAWajib Pajak (WP) Orang Pribadi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang sudah memanfaatkan skema pajak penghasilan (PPh) Final 0,5% sejak 2018 masih tetap bisa menggunakan skema yang sama hingga tahun pajak 2024.

Namun, setelahnya para wajib pajak ini tidak berhak lagi membayar pajak menggunakan tarif PPh Final UMKM dan harus membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan.

Adapun tarif PPh Final UMKM sebesar 0,5% ini dapat digunakan WP OP atau WP Badan dalam negeri yang memiliki peredaran bruto dari usaha tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Baca Juga: Penerimaan Pajak Hilang Rp 75,52 Triliun Imbas Pemberian Insentif Pajak UMKM

Namun, pengenaan tarif PPh final tersebut memiliki masa berlaku. Berdasarkan Pasal 59 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, jangka waktu pengenaan tarif PPh final 0,5% paling lama 7 tahun untuk WP orang pribadi, 4 tahun untuk WP badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer (CV), firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan yang didirikan oleh satu orang, dan 3 tahun untuk WP badan perseroan terbatas.

Jangka waktu tersebut terhitung sejak WP terdaftar bagi WP yang terdaftar setelah tahun 2018, atau sejak tahun 2018 bagi WP yang terdaftar sebelum tahun 2018.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, pemberlakuan tarif normal ini akan menambah beban para UMKM, khususnya yang masih belum pulih dari scarring effect pandemi Covid-19. Apalagi bila masih dibebankan dengan biaya produksi yang masih tinggi.

Baca Juga: Pemerintah Terbitkan Aturan Baru Pajak UMKM dan Pengukuhan PKP, Ini Isinya

"Beban akan lebih besar menimpa UMKM yang bergerak pada sektor-sektor yang masih belum sepenuhnya lepas dari scarring effect," ujar Faisal kepada Kontan.co.id , Kamis (25/1).

"Kalau ini diberlakukan (tarif normal) ini akan mendiscourage UMKM yang saat ini justru masih tertatih-tatih," imbuhnya.

Selain itu, Faisal bilang, pemberlakuan tarif normal ini juga akan menurunkan pendapatan bersih UMKM. serta menipiskan income profit dan bahkan bisa membuat UMKM merugi.

"Artinya, itu malah juga menghalangi UMKM untuk bisa berkembang dan naik kelas," katanya.

Menurutnya, pemberlakuan tarif normal pajak UMKM ini tidak hanya bisa dilihat dari masa penggunaannya saja. Melainkan, harus juga dilihat apakah UMKM tersebut sudah siap untuk dikenakan tarif pajak nomal.

Baca Juga: Siap-Siap! Tarif Pajak UMKM Kembali Normal pada 2025 Untuk Wajib Pajak Ini

"Kalau kemudian pendampingannya berhasil dan kemudian usahanya besar apalagi naik kelas, nah ini baru kemudian kita berbicara masalah pengenaan pajak yang normal," imbuh Faisal.

Senada, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan,pemberlakuan tarif normal memang akan membuat WP OP UMKM merasa terbebani. Untuk itu, WP OP sering diarahkan untuk mengunakan perhitungan sesuai dengan Pasal 14 UU PPh.

"Pembukuan untuk WP OP UMKM memang membebani sehingga compliance cost berpotensi meningkat. Makanya, untuk menggunakan norma, WP OP dapat menyelenggarakan pencatatan," kata Prianto.

Baca Juga: Pengamat: Imbal Hasil Investasi Jauh Lebih Penting Ketimbang Insentif Pajak di IKN

Dengan begitu, Prianto bilang, WP OP cukup mencatat omzet atau peredaran bruto setiap bulan. Sedangkan pencatatan biaya diabaikan lantaran penghasilan neto dihitung berdasarkan NPPN.

Sebagai informasi, apabila pengenaan tarif PPh Final 0,5% telah berakhir, WP wajib membuat pembukuan untuk dapat menghitung PPh terutang menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh.

Namun demikian, apabila WP tersebut sampai dengan akhir masa berlakunya, masih memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp 4,8 miliar, WP tersebut boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

Dengan NPPN, WP perlu mengalikan peredaran bruto dengan norma atau persentase yang telah ditetapkan untuk setiap jenis usaha atau pekerjaan bebasnya. Selain itu, WP tersebut juga wajib membuat pencatatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective [Intensive Boothcamp] Financial Statement Analysis

[X]
×