kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Data pajak bisa jerat 40% pengguna listrik nakal


Rabu, 09 April 2014 / 14:15 WIB
Data pajak bisa jerat 40% pengguna listrik nakal
ILUSTRASI. Pekerja membersihkan menara BCA di Jakarta, Selasa (12/3/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.


Reporter: Syarifah Nur Aida | Editor: Hendra Gunawan

JAKARTA. Menteri Keuangan Chatib Basri menilai listrik sebagai indikator paling baik untuk melihat apakah suatu aktivitas ekonomi berjalan dengan baik atau sebaliknya.

Kata dia, di sejumlah negara, jika data pajak yang disetorkan Wajib Pajak (WP) dianggap tidak merefleksikan kewajiban sesungguhnya, pemerintahnya akan menggunakan data listrik ketimbang Produk Domestik Bruto (PDB).

Begitupun di Indonesia, data tagihan listrik juga sering kali diminta untuk keabsahan identitas bagi transaksi ekonomi seperti pembelian mobil atau kredit barang elektronik.

Untuk itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menggunakan data tagihan listrik sebagai acuan nilai pajak terhutang. Menkeu menilai data tersebut akan membantu DJP dalam melakukan pemeriksaan silang mengenai data pajak.

"Saya optimistis kerja sama dengan PLN akan sangat berguna bagi DJP dalam upaya pencapaian target pajak," ujar Chatib di Gedung DJP, Selasa (8/4).

Menurut Menkeu, sebelum tahun 2000, setiap 1% pertumbuhan ekonomi membutuhkan 2% pertumbuhan listrik. Kala itu, pertumbuhan PLN ada di angka 14%, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%. Jika menggunakan kalkulasi tersebut, prakiraan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,8% di 2014 akan paralel dengan pertumbuhan listrik di angka lebih dari 10%.

Namun, menurut PLN, pertumbuhan listrik tahun ini berkisar di angka 7,8%. Jika menggunakan kalkulasi di atas, Chatib menilai ada potensi besarnya jumlah pengguna listrik yang belum menjadi Wajib Pajak (WP). "Itu artinya, sekitar 40% pengguna listrik adalah tersembunyi," pungkasnya.

Direktur PLN Nur Pamudji menilai tak semua konsumennya berperilaku culas. PLN berjanji akan melakukan pengecekan dan menyaring terhadap data yang akan diserahkan DJP. Nur menyebut ada sejumlah situasi khusus yang membuat konsumen seolah menjadi pengemplang listrik, seperti pemilik rumah kost.

Penggunaan listrik memang meningkat seiring bertambahnya usaha pemilik, namun pemegang tagihan listrik tetap satu orang. "Bisa juga orang pindah rumah, namun tagihan masih atas nama pemilik lama, tidak berganti ke pemilik baru," tutupnya.

DJP akan menggunakan data sekitar 35 juta konsumen listrik berdaya di atas 2200 volt-ampere sebagai pembanding bagi jumlah pajak yang harus disetorkan wajib pajak. Langkah tersebut bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak negara.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×