Sumber: Kompas.com | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Dana saksi partai politik di tempat pemungutan suara yang ditolak sejumlah partai politik dan direkomendasikan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk tidak dialokasikan karena berpotensi dikorupsi telah dicoret dari rancangan peraturan presiden.
Dalam dokumen rancangan peraturan presiden (perpres) draf 24 Januari 2014, pada bagian judul, kata ”saksi partai politik” telah dicoret. Saat ini, rancangan perpres masih berada di Kementerian Dalam Negeri.
Judul rancangan perpres itu berbeda dengan draf 15 Januari 2014 yang dalam judulnya masih tertulis kata ”saksi partai politik”. Judul lengkapnya tertulis ”Rancangan Perpres No... Tahun 2014 tentang Pembentukan Mitra Pengawas Pemilihan Umum Lapangan dan Saksi Partai Politik di Setiap Tempat Pemungutan Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014”.
Kepala Biro Hukum Kemendagri Zudan Arif Fakrulloh membenarkan dana saksi partai politik telah dicoret dari rancangan perpres.
”Dana saksi parpol dicoret dalam rancangan tersebut karena akan dibuat terpisah. Kami fokus dulu ke mitra PPL (pengawas pemilu lapangan) dan linmas (perlindungan masyarakat) yang sudah disetujui,” ujar Zudan saat ditemui di Gedung A Kemendagri, Jakarta, Rabu (5/2/2014).
Dalam Pasal 2, rancangan perpres tertanggal 24 Januari, yang mengatur tentang pembiayaan dari APBN, juga tidak disebutkan lagi saksi partai politik. Sementara itu, pada rancangan perpres tertanggal 15 Januari, masalah pembiayaan saksi partai politik yang berasal dari APBN masih tercantum pada Pasal 10.
Tidak hanya itu, rancangan perpres yang berasal dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ini juga diubah oleh Kemendagri. Berdasarkan rancangan perpres tertanggal 15 Januari 2014, diatur tentang kedudukan, tugas, wewenang, pembiayaan, dan mekanisme pembentukan mitra PPL dan saksi partai politik di TPS. Namun, pada rancangan perpres tertanggal 24 Januari, hanya diatur tentang honorarium mitra PPL dan linmas saja.
”Kalau memang dipandang perlu, negara bisa saja memberikan dana saksi parpol. Yang pasti untuk perpresnya masih belum selesai,” ujar Zudan.
KPK menilai dana saksi partai politik dalam pemilu ini berpotensi dikorupsi karena tak jelas perencanaan dan pengawasannya. Untuk mencegah terjadi penyelewengan, KPK merekomendasikan agar pemerintah tidak mengalokasikan anggaran itu dalam APBN (Kompas, 4/2/2014).
UU tak mengatur
Undang-Undang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD ataupun UU Pemilu Presiden dan UU Partai Politik, menurut Zudan, memang tidak mengatur masalah pendanaan. Namun, setiap lembaga memiliki struktur tersendiri. Contohnya, Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) masuk ranah Komisi Pemilihan Umum. Lalu, pengawas dan mitra PPL masuk dalam ranah Bawaslu. ”Saksi parpol tidak masuk di dua lembaga itu karena seharusnya menjadi tanggung jawab parpol. Kalau PPS, PPK, dan PPL memang harus dibayar karena masuk struktur negara,” ujar Zudan.
Ia menyarankan partai politik melakukan realokasi pendanaan untuk membiayai saksi di tiap TPS. Menurut dia, tiap calon anggota legislatif (caleg) per daerah pemilihan (dapil) dapat melakukan iuran untuk mendanai saksi ini.
”Dihitung saja, jumlah caleg di satu dapil ada berapa? Kemudian jumlah TPS di dapil tersebut ada berapa? Lalu butuh saksi berapa? Para caleg tersebut bisa iuran dengan menggunakan sebagian biaya yang digunakan untuk spanduk. Jadi, ada kemandirian parpol,” ujar Zudan.
Jangan dipaksakan
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Dewan Pertimbangan Partai Golkar Akbar Tandjung juga mengingatkan agar pengadaan dana saksi untuk partai politik peserta Pemilu 2014 tidak perlu dipaksakan. Setiap partai lebih baik mengoptimalkan para kadernya sebagai saksi.
”Peran saksi memang penting agar pemilu jurdil (jujur dan adil). Namun, kalau tidak bisa dijamin mekanisme pengawasannya, ya, tidak perlu dipaksakan. Masyarakat menghendaki sistem yang transparan dan akuntabel. Apalagi citra politisi dan DPR saat ini menurun di mata publik,” paparnya.
Dia mengapresiasi sikap sejumlah partai politik yang menolak pengalokasian dana saksi itu. Partai yang mampu dan memiliki infrastruktur politik yang baik berupa meratanya kader-kader dan simpatisan sewajarnya menolak dana yang akan dialokasikan dari APBN.
Sementara itu, Ketua KPU Husni Kamil Manik menyatakan, pihaknya tidak mau ikut-ikutan berpolemik mengenai dana saksi partai politik itu. Namun, partisipasi para saksi partai merupakan kebutuhan dalam pengawasan hasil pemilu. ”Nah, soal dari mana dananya, kami tidak ikut dalam diskursus itu,” tuturnya.
Mitra PPL
Mengenai mitra PPL, dalam draf rancangan perpres 24 Januari, disebutkan sebagai mitra pendukung pengawas pemilu lapangan yang dibentuk Bawaslu untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu di TPS.
Pengawas pemilu lapangan adalah petugas yang dibentuk Panitia Pengawas Kecamatan yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di desa/kelurahan.
Segala pembiayaan yang diperlukan bagi pembentukan dan pelaksanaan tugas mitra PPL bersumber dari APBN. Honorarium mitra PPL dalam negeri Rp 100.000 dan mitra PPL di luar negeri 50 dollar AS. Adapun satuan pertahanan sipil/linmas belum definisikan. Honornya pun belum dicantumkan dalam rancangan perpres. (JON/A04)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News