kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Dampak langsung rencana CBAM Uni Eropa ke produk ekspor RI relatif terbatas


Minggu, 08 Agustus 2021 / 19:18 WIB
Dampak langsung rencana CBAM Uni Eropa ke produk ekspor RI relatif terbatas


Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto

Baca Juga: Bisa kerek beban produksi, Inaplas keberatan dengan rencana pajak karbon

Salah satu rencana dari CBAM adalah perluasan cakupan barang dan jasa di luar yang telah ada saat ini dan selama ini dinilai berpotensi menyumbang emisi karbon. Salah satu produk penting Indonesia yang dinilai berisiko adalah crude palm oil (CPO) dan produk turunannya seperti produk minyak nabati.

Data menunjukkan, ekspor minyak nabati dan hewani yang didominasi oleh CPO mengambil porsi sekitar 19,5% dari total ekspor Indonesia ke Uni Eropa. Sementara itu, pangsa pasar Indonesia di Uni Eropa terhadap produk ini relatif kecil, yaitu 8,4%. Tentu ini perlu diperhatikan.

“Dengan kata lain, bila CBAM mengurangi dramatis impor kelapa sawit Indonesia, maka mereka bisa dengan mudah mensubstitusi impor produk serupa dari negara lain,” katanya.

Namun, di sisi lain, CBAM ini bisa menjadi akselerator bagi penerapan sistem perdagangan energi atau emission trading system (ETS) di Indonesia yang bahkan sudah menjadi perhatian pemerintah sejak 2017, untuk membatasi emisi gas rumah kaca.

Pada tahun tersebut, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) no. 46 tahun 2017 mengenai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Beleid ini memberi fondasi untuk pembentukan sistem izin emisi dan/atau limbah yang akan diterapkan pada tahun 2024.

Alias, ini sesuai dengan timeline rencana penerapan CBAM yang akan dilakukan secara bertahap, berawal dari tahun 2023 dan dengan target implementasi penuh pada tahun 2026.

Baca Juga: APHI usulkan opsi pelaksanaan dan pengenaan pajak karbon

Asal tahu saja, pada tahun 2018, Indonesia juga telah membentuk Monitoring, Reporting, and Verification (MRV) system untuk emisi di sektor ketenagalistrikan. Bahkan, Kementerian Perindustrian juga mengembangkan MRV di sektor semen dan pupuk.

Dari kajian di akhir tahun 2018 ada 4 pilihan instrumen berbasis pasar, yaitu ETS untuk sektor listrik dan industri, sertifikat efisiensi energi untuk industri, sistem cap-and-tax, dan mekanisme offset karbon.

Nah, pemerintah sendiri tampaknya memilih mekanisme ETS sektor listrik sebagai langkah awal dengan bukti pada Maret 2021 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia mengumumkan peluncuran uji coba perdagangan emisi sukarela untuk sektor ketenagalistrikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×