Reporter: Bidara Pink | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mandiri Institute memandang, dampak langsung cita-cita Uni Eropa untuk mengimplementasikan penyesuaian karbon atau carbon border adjustment mechanism (CBAM) pada produk ekspor Indonesia cenderung terbatas.
Seperti kita ketahui, pada tanggal 14 Juli 2021, komisi Eropa mengajukan proposal legislasi yang mengatur tentang CBAM. Hal ini untuk mengurangi emisi karbon dan menjadi jalan bagi target Eropa untuk menjadi negara carbon-neutral pada tahun 2050.
Cara kerja CBAM yang dimaksud ini seperti tarif impor, di mana besaran tarif atau pungutan akan disesuaiakn dengan harga karbon yang dihasilkan dari produk-produk seperti semen, besi dan baja, aluminium, pupuk, dan listrik yang diimpor.
Baca Juga: Pentingnya Kebijakan Mengontrol Emisi Karbon
Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono mengatakan, Indonesia memang telah mengekspor sejumlah produk yang ada di daftar CBAM tersebut ke Uni eropa, dengan ekspor tertinggi adalah besi dan baja.
Menurut data yang dihimpun dari Trademap, ekspor Indonesia ke Uni Eropa sebesar US$ 13,12 juta dan ekspor besi dan baja hanya sekitar 1,73% dari total nilai ekspor.
Pun dengan ekspor aluminium ke Uni Eropa tercatat hanya sebesar 0,08% dari total ekspor ke kawasan tersebut, dan semen hanya sekitar 0,02% dari total nilai ekspor ke kawasan tersebut.
“Sehingga, ini menunjukkan bahwa produk-produk ini bukan merupakan produk utama ekspor Indonesia ke Uni Eropa,” tegas Teguh dalam laporan yang diterima Kontan.co.id, Minggu (8/8).
Selain itu, pangsa pasar Indonesia di Uni Eropa atas produk besi dan baja hanya 0,2% dari total impor produk yang dilakukan oleh Uni Eropa. Sehingga, rendahnya pangsa pasar Indonesia di Uni Eropa menunjukkan Uni Eropa bukan negara tujuan ekspor utama atas produk-produk terkait.
Namun, bukan berarti Indonesia bisa bernapas lega. Teguh mewanti-wanti, kalau Uni Eropa nantinya terlalu ambisius, ini tetap berpotensi berdampak cukup serius terhadap produk-produk ekspor Indonesia lainnya.